Selasa, 18 September 2012

Trauma Medula Spinalis


Trauma Medula Spinalis

Pendahuluan(1,2)
Trauma medula spinalis dapat disebabkan oleh berbagai proses patologis termasuk trauma. Fokus pemeriksaan yaitu pada  gambaran klinis  secara umum keterlibatan dari susunan medula spinalis.
Kecelakaan lalu lintas, terjatuh, olahraga (misalnya menyelam), kecelakaan industri, luka tembak dan luka bacok, ledakan bom merupakan penyebab trauma medula spinalis.
Patofisiologi (1,2,3)
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian syaraf oleh fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif  ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12.
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medula spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan),  jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
  1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
  2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
  3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena.
  4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior.
Manifestasi Lesi Traumatik(1,2,3)
Komosio Medula Spinalis
Komosio medula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medula spinalis hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam / hari tanpa meninggalkan gejala sisa.
Kerusakan reversibel yang medasari komosio medula spinalis berupa edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopik medula spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medula  spinalis lebih mengarah ke perubahan anatomik daripada fisiologik.
Kontusio Medula Spinalis
Berbeda dengan komosio medula spinalis yang diduga hanya merupakan gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan anatomik makroskopik, maka pada kontusio medula spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medula spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan (edema),  perubahan neuron, reaksi peradangan.
Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak degenerasi Waller dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron yang diikuti proliferasi mikroglia dan astrosit.
Laserasio Medula Spinalis
Pada laserasio medula spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas medula spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.
Perdarahan
Akibat trauma, medula spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat anestesia epidural dan sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relatif ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medula spinalis. Kedua keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di dalam substansia grisea medula spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak langsung  misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medula spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus  lateralis dan posterior medula spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis spastik, dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.
Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medula spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan epi dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medula spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi.
Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis traumatik yang reversibel. Di bawah lesi kompresi medula spinalis akan didapati paralisis spastik dan gangguan sensorik serta otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktu-dislokasi vertbra L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medula spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai  daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala, yang bergantug pada serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai  paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat.
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya kontrol volunter vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
Hemiseksi Medula Spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medula spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang disarafi  oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan defisit sensorik proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat defisit sensorik protopatik.
Sindrom MedulaSpinalis bagian Anterior
Sindrom ini mempunyai ciri khas berikut : paralisis dan hilangnya sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi,tetapi sensibilitas protopatik tetap utuh.
Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior
Ciri khas sindrom ini adalah adanya defisit motorik yang lebih berat pada lengan dari pada tungkai dan disertai defisit sensorik. Defisit motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya sel motorik di kornu anterior medula spinalis  segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus kortikospinalis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medula spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilitis servikal.
Transeksi Medula  Spinalis
Bila medula spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu :
  1. semua gerak volunter pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan hilang fungsinya secara mendadak dan menetap
  2. semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
  3. semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik refleks tendon maupun refleks otonom. Kadang kala pada fase renjatan ini masih dapat dijumpai refleks bulbokavernosus dan atau refleks anal. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan (3-6 mingu)
Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang dewasa yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius atau keadaan metabolik yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebh lama.
McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.
  1. Hilangnya fasilitas traktus desendens
  2. Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada refleks ekstensor, dan
  3. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya sebagai dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksia dan aktivitas refleks yang meningkat.
Syok spinal atau arefleksia
Sesaat  setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, refleks hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi ( disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebi tinggi ) tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin akan terkumpul, setelah tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin akan mengalir keluar (overflow incontinence)
Demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus parlitik. Refleks genitalia (ereksi penis, refleks bulbokavernosus, kontraksi otot dartos) menghilang.
Aktifitas refleks yang meningkat
Setelah beberapa minggu respon refleks terhadap rangsang mulai timbul, mula-mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul refleks fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan kemudian fleksi tripel muncul.  Beberapa bulan kemudian refleks menghindar tadi akan bertambah meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi dan pengosongan kandung kemih secara otomatis. Hal ini disebut refleks massa.
Diagnosis (1,3)
Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi.
Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.
Penatalaksanaan (1,2,3)
Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah konservatif dan simptomatik. Manajemen yang paling utama untuk mempertahankan fungsi medula spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan medula spinalis yang mengalami trauma tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkas sebagai berikut :
v  stabilisasi, imobilisasi medula spinalis dan penatalaksanaan hemodinamik dan atau gangguan otonom yang kritis pada cedera dalam fase akut, ketika penatalaksanaan gastrointestinal (contoh, ileus, konstipasi, ulkus), genitourinaria (contoh, infeksi traktus urinarius, hidronefrosis) dan sistem muskuloskletal (contoh, osteoporosis, fraktur).
v  Jika merupakan suspek trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual atau dengan collar. Pindahkan pasien secara hati-hati.
v  Terapi radiasi mungkin dibutuhkan pada penyakit dengan metastasis. Untuk tumor spinal yang menyebabkan efek massa gunakan deksametason dosis tinggi yaitu 10-100 mg intra vena dengan 6-10 mg intravena per 6 jam selama 24 jam.Dosis diturunkan dengan pemberian intravena atau oral setiap 1 sampai 3 minggu.
v  Trauma medula spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otot-otot interkostal. Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernapasan bahkan kadangkala apnea. Bila perlu dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian oksigen saja tidak efektif membantu penderita. Pada trauma servikal, hilangnya kontrol vasomotor menyebabkan pengumpulan darah di pembuluh darah abdomen, anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi, menyebabkan imbulnya hipotensi.
v  Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi gaster akut. Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan akan memperberat pernapasan.
v  Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema. Kemudian bila peristaltik timbul kembali dapat diberikan obat pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat diganti dengan supositoria.
Operasi
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi :
  1. reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
  2. adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat.
  3. trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya.
  4. fragmen yang menekan lengkung saraf.
  5. adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
  6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma.
DAFTAR  PUSTAKA
  1. www.emedicine.traumamedulaspinalis.htm
  2. Nuartha B.N., Joesoef A.A., Aliah A., dkk, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993
  3. Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar