Kamis, 28 April 2011

Syok dan Penanganannya




Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel. Karena hipoksia pada syok terjadi gangguan metabolisme sel, sehingga dapat timbul kerusakan ireversibel pada jaringan organ vital. Bila terjadi kondisi seperti ini penderita meninggal dunia.
Syok bukan merupakan penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan. Syok dapat terjadi karena kehilangan cairan dalam waktu singkat dari ruang intravaskuler, kegagalan kuncup jantung, infeksi sistemik berat, reaksi imun yang berlebihan dan reaksi vasovagol. Dan syok dapat terjadi setiap waktu pada penderita. Penanggulangan didasarkan pada diagnosis dini yang tepat.

A. Definisi dan Penyebab Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif.
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut :
1. Hipotensi : tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (Tekanan Arteri Rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30 % lebih.
2. Oliguria : produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang jelek.
Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik dan syok anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada :
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
a. Gastrointestinal : peritonitis, pankreatitis dan gastroenteritis.
b. Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.

B. Gejala dan Tanda Klinis

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu :
1. Kulit dingin, pucat dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takhikardia : peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi : karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mHg.
4. Oliguria : produk urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti : (1) Turunnya turgor jaringan; (2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria) dan pada hidrasi berat.
Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal. Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,0-7,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4 % selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan 2/2 x berat badan x kelebihan basa.
A. Resusitasi Cairan
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut.
Tabel 1. Jenis-jenis Cairan Kristaloid untuk Resusitasi
Cairan

Na+


(mEq/L)

K+


(mEq/L)

Cl-


(mEq/L)

Ca++


(mEq/L)

HCO3


(mEq/L)

Tekanan Osmotik


(mOsm/L)

Ringer Laktat


130


4


190


3


28*


273


Ringer Asetat


130


4


109


3


28:


273


NaCl 0,9 %


154


-


154


-


-


308


*Sebagai laktat


: Sebagai asetat










Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma atau darah.
Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah transfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis dan pankreatitis akuta.

Gambar 1. Klasifikasi Terapi Cairan

image

C. Pemilihan Cairan Intravena

Pemilihan cairan intravena sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parerenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Tetapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.
Tetapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18-24 jam sesudah cedera luka bakar.
Larutan parerental pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45 % dalam larutan Dextrose 5 % digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Darmawan, Iyan, MD, Cairan Alternatif untuk Resusitasi Cairan : Ringer Asetat, Medical Departement PT. Otsuka Indonesia, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan.
2. FH Feng, KM Fock, Peng, Penuntun Pengobatan Darurat, Yayasan Essentia Medica – Andi Yogyakarta, Edisi Yogya 1996, hal 5-16.
3. Hardjono, IS, Biomedik Asam Laktat, Bagian Biokimia FK Undip Semarang, Majalah Medika No. 6 Tahun XXV Juni 1999 hal 379-384.
4. Pudjiadi, Tatalaksana Syok Dengue pada Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Agustus 1999.
5. Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktek Klinis, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14 Agustus 1999.
6. Thaib, Roesli, Syok Hipovolemik dan Terapi Cairan, Kumpulan Naskah Temu Nasional Dokter PTT, FKUI, Simposium h 17-32.
7. Wirjoatmodjo, M, Rehidrasi – Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Kedua, ED Soeparman, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987 hal 8-12

Apendisitis


Apendisitis

Appendicitis merupakan penyakit yang sering dijumpai sehingga harus dicurigai sebagai keadaan yang paling mungkin menjadi penyebab nyeri akut abdomen. Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Insidensi pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Insidensi tertinggi pada laki-laki pada usia 10-14 tahun, sedangkan pada perempuan pada usia 15-19 tahun. Penyakit ini jarang ditemukan pada anak-anak usia di bawah 2 tahun.(1)
Diagnosis appendicitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data-data tersebut. Tak jarang kasus-kasus appendicitis yang lolos dari diagnosis bahkan ada yang salah didiagnosis. Kadang-kadang untuk menegakkan diagnosis appendicitis sulit karena letak appendix di abdomen sangat bervariasi.(2,3)
Penatalaksanaan appendicitis dilakukan dengan appendectomi, yaitu suatu tindakan bedah dengan mengangkat appendix. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyulit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, seperti dapat menyebabkan terjadinya perforasi atau ruptur pada appendix.(1)

A. Definisi

Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat appendix.(3,4)

B. Anatomi

Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih.Secara anatomi appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing.(3)
Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah postero-medial secum.Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada pada titik Mc.Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.(4,5)
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke belakang colon yang disebut appendix retrocolic.(3)
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior.(2)

C. Fisiologi

Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis.(1,3,5)
Dinding appendix terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yaitu Ig A. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.(2,3)
D. Patofisiologi
Appendicitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada appendix. Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus antara lain sumbatan lumen appendix oleh mukus yang terbentuk terus menerus atau akibat feses yang masuk ke appendix yang berasal dari secum. Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fecalith. (3)
Adanya obstruksi berakibat mukus yang diproduksi tidak dapat keluar dan tertimbun di dalam lumen appendix. Obstruksi lumen appendix disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Proses selanjutnya invasi kuman ke dinding appendix sehingga terjadi proses infeksi. Tubuh melakukan perlawanan dengan meningkatkan pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman tersebut. Proses ini dinamakan inflamasi. Jika proses infeksi dan inflamasi ini menyebar sampai dinding appendix, appendix dapat ruptur. Dengan ruptur, infeksi kuman tersebut akan menyebar mengenai abdomen, sehingga akan terjadi peritonitis. Pada wanita bila invasi kuman sampai ke organ pelvis, maka tuba fallopi dan ovarium dapat ikut terinfeksi dan mengakibatkan obstruksi pada salurannya sehingga dapat terjadi infertilitas. Bila terjadi invasi kuman, tubuh akan membatasi proses tersebut dengan menutup appendix dengan omentum, usus halus atau adnexsa, sehingga terbentuk massa peri-appendicular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Appendix yang ruptur juga dapat menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah sehingga terjadi septicemia. (1,3,6,7)
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang lagi dan disebut mengalami eksaserbasi akut (2).
E. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain (4,5,6,7):
1. Nyeri abdominal.
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendicitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc. Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritoneum biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,7°-38,3° C.
Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendicitis diketahui setelah terjadi perforasi (1,2).
F. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendiculer (2,6).
2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu:
- Nyeri tekan di Mc. Burney.
- Nyeri lepas.
- Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal (2,5,6).
Pada appendix letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang (2,5,6).
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendicitis perforata (2).
Pemeriksaan Colok Dubur
Akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada appendicitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur (5).
Tanda-Tanda Khusus
1. Psoas Sign
Dilakukan dengan rangsangan m.psoas dengan cara penderita dalam posisi terlentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, penderita disuruh hiperekstensi atau fleksi aktif. Psoas sign (+) bila terasa nyeri di abdomen kanan bawah (5,6).
2. Rovsing Sign
Perut kiri bawah ditekan, akan terasa sakit pada perut kanan bawah (5,6).
3. Obturator Sign
Dilakukan dengan menyuruh penderita tidur terlentang, lalu dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah (5,6).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat (4,7).
- Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis (4).
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak (4).
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya (4).
4. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.(4)
5. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.(4,5)
6. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.(4)
H. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendicitis.(2)
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual dan muntah. (2)
3. Peradangan pelvis
Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendix. Radang kedua oergan ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis.Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexsual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dannyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri. (2,3)
4. Kehamilan Ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan kavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.(2)
5. Diverticulitis
Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi disebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendicitis. (3)


6. Batu Ureter atau Batu Ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalarr ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memestikan penyakit tersebut. (2)

H. Penatalaksanaan
Bila diagnosis appendicitis akut telah ditegakkan, maka harus segera dilakukan appendektomi. Hal ini disebabkan perforasi dapat terjadi dalam waktu < 24 jam setelah onset appendicitis.Penundaan tindakan pembedahan ini sambil diberikan antibiotik dapat mengakibatkan terjadinya abses atau perforasi (1,5,7)
Appendectomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara terbuka dan laparoscopi. Dengan cara terbuka dilakukan insisi di abdomen kanan bawah kemudian ahli bedah mengeksplorasi dan mencari appendix yang meradang.Setelah itu dilakukan pengangkatan appendix, dan abdomen ditutup kembali.
Tindakan laparoscopi merupakan suatu tehnik baru untuk mengangkat appendix dengan menggunakan lapariscop.Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus yang meragukan dalam menegakkan diagnosis appendicitis. Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada appendicitis perforata.(1,2,3,4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Helwick, CA, Appendicitis, Gale Encytopedia of medicine. htm.
2. Hamami, AH, dkk, Usus Halus Appendiks, Kolon, dan Anorektum, dalam Sjamsuhidajat, R, De jong. W, Buku Ajar Ilmu bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997, hal 865-75.
3. Anonim, Appendectomy, Medicine Net. Com.
4. Anonim, Appendicitis, Medicine Net. Com.
5. Anonim, Appendicitis, The Merck Manual Sec 3, htm.
6. O’rourke. R, Acute Appendicitis, The Iowaclinic. Com.
7. Anonim, Appendicitis, The Merck Manual, Sec 9, htm

Ikterus pada anak


Ikterus pada anak

Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM persentase ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg. (3,7)

Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya. Dikemukakan bahwa kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19 % menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Karena setiap bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. (3,7)
Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. (3,7)
2.1. Definisi
Ikterus Neonatorum
Yaitu disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan bilirubin. (2,4,5,6,7,8,9,10)

Ikterus fisiologis
Yaitu ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernikterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. (2,4,9)

Ikterus patologis
Yaitu ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. (2,4,9)

Kernicterus
Suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonyugasi dalam sel – sel otak. (2,4,9)

2.2 Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak. (2,7)
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein , glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. (2,7)
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus. Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto). (2,7)

4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat. (2,7)

5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus
Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. (2,4,7,8)

Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus “fisiologis” dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl. (4,5,8)

Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya disebabkan oleh penyakit hemolitik.

Kernicterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental. (4,8,9)

2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (2,4,5,7,8,9)

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu.
Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu, memperlihatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi maksimal sebesar 10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka terus disusui, hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10 minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar bilirubin serum akan menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari.
Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan cepat, setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai timbulnya kembali hiperbilirubinemia dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5 -pregnan-3 , 2-diol dan asam lemak rantai panjang, tak-teresterifikasi, yang secara kompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu. (9)

2.4. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi. (7,9)

2.5 Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya. (7,9)
2.6. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut. Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan besar disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan darah lain). Infeksi intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau sepsis bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula dipikirkan penyebab lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman, polisitemia, hemolisis karena perdarahan tertutup, kelainan morfologi eritrosit (misalnya sferositosis), sindrom gawat nafas, toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah minggu pertama biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal, stenosis pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan lain-lain. (7,9)

2.7. Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya. Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat “fisiologik”, tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama kelahiran atau sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini.
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome” (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah, maka harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu kemungkinan diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik. (9)

2.8. Penatalaksanaan
I. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
- Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
- Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :
- Kadar bilirubin serum berkala
- Darah tepi lengkap
- Golongan darah ibu dan bayi
- Uji coombs
- Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
B. Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir
- Biasanya ikterus fisiologis
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.

- Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
- Polisitemia
- Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).
- Hipoksia.
- Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.
- Dehidrasi asidosis.
- Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
- Biasanya karena infeksi (sepsis).
- Dehidrasi asidosis.
- Difisiensi enzim G-6-PD.
- Pengaruh obat.
- Sindrom Criggler-Najjar.
- Sindrom Gilbert.
D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
- Biasanya karena obstruksi.
- Hipotiroidisme.
- “breast milk jaundice”
- Infeksi.
- Neonatal hepatitis.
- Galaktosemia.
- Lain-lain.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
- Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan penyaring G-6-PD.
- Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.
- Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi ‘kernicterus’.
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :
1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.
2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.
4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui.
6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

II. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.

III. Mengatasi hiperbilirubinemia
 Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai ‘enzyme inducer’ sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
 Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya yaitu pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
 Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca-tranfusi tukar.
 Tranfusi tukar
Pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
- Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek  20 mg%.
- Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam.
- Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
- Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs direk positif.
Sesudah tranfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan seperti asfiksia perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum kurang atau sama dengan 5 g%, berat badan lahir kurang dari 1.500 gr dan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang lebih tinggi berikutnya.

IV. Pengobatan umum
Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan perawatan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu pemberian makanan yang dini dengan cairan dan kalori cukup dan iluminasi kamar bersalin dan bangsal bayi yang baik.

V. Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu ‘kernicterus’. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut :
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa (3,4,9)

2.9. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya. (7,9)
DAFTAR PUSTAKA



1. Arfin Behrman Kligman, Nelson; Dalam Ilmu Kesehatan Anak, volume I, edisi 15, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999, hal 610-617.

2. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Hepatologi Anak dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Buku 2, edisi 7, Bab 20, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 519-522.

3. Shopin Steven M Kern Icterus; Newborn Jaundice on line, Verginia Commonhealth Univercity, http.//www.mcvfoundation.org.

4. Prawirohartono EP, Sunarto (ed), Ikterus dalam Pedoman Tata Laksana Medik Anak RSUP. Dr. Sardjito, Edisi 2, Cetakan 2, Medika FK UGM, Yogyakarta 2000, hal 37-43.

5. Poland R, dan Ostrea E.M.; Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam Klaus M.H, Fanaroff A.A (ed); Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1998, hal 367-389

6. Sacharin R.M., Penyakit Saluran Pencernaan, Hepar dan Pankreas dalam Ni Luh Gede Yasmin Asih (ed); Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2, EGC, Jakarta, 1993, hal 475.

7. Asil Aminullah; Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam A.H. Markum (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999, hal : 313-317.

8. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Perinatologi dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Buku 3, edisi 7, Bab 32, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 1101-1115.

9. Behrman R.E.; Kliegman R.M., Nelson W.E., Vaughan V.C. (ed); Icterus Neonatorum in Nelson Textbooks of Pediatrics, XIVrd Edition; W.B. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania 19106, 1992; pages 641-647.

10. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3

Peritonitis


Peritonitis


Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1,2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. 3,4
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. 5
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 2

II.1. DEFINISI

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut. 6,7
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis. 8
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. 9
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. 9
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. 8
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum). 10,11

II.2. ANATOMI

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. 12
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. 13
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu: 13
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium vebtrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus. 13
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar bagian usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale. 13
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei.. dengan demikian:13
· Duodenum terletak retroperitoneal;
· Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;
· Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
· Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon transversum;
· Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;
· Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.13
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum. 13
Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae. 13
Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus. 13

II.3. ETIOLOGI

Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen. 6

II.4. PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. 4
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 8
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. 14
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. 8
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 4
5. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 3, 5, 8,15
a. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Streptococus atau Pneumococus. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
c. Peritonitis non bakterial akut
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis bakterial kronik (tuberkulosa)
Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestinal atau tractus urinarius.
e. Peritonitis non bakterial kronik (granulomatosa)
Peritoneum dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan granuloma, dan sering menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa kronik dapat terjadi karena talk (magnesium silicate) atau tepung yang terdapat disarung tangan dokter. Menyeka sarung tangan sebelum insisi, akan mengurangi masalah ini.

MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. 4
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. 4
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya. 4,11
DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
a. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial. 4, 5
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah. 5
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat. 5

c. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. 5
III.2. GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : (rasad)
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal. 7,15
7. TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. 4,16
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi. 8,17
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. 8,17
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. 17
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. 3,5
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi. 3,5
8. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll. 9
9. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : (chushieri)
a. Komplikasi dini
· Septikemia dan syok septik
· Syok hipovolemik
· Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem
· Abses residual intraperitoneal
· Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
· Adhesi
· Obstruksi intestinal rekuren


10. PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen. 4

KESIMPULAN

  1. Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut.
  2. Etiologi peritonitis dapat disebabkan karena perforasi organ berongga atau perdarahan organ padat.
  3. Menurut patogenesisnya diklasifikasikan menjadi : peritonitis bakterial primer & sekunder, peritonitis non bakterial akut, peritonitis tuberkulosa, dan peritonitis granulomatosa.
  4. Manifestasi klinis dari peritonitis adalah nyeri perut, defans muskular, suhu badan tinggi, nyeri tekan lepas, tanda – tanda syok. Adanya udara bebas dalam jumlah banyak menyebabkan pekak hati menghilang. Peristaltik usus menurun atau menghilang.
  5. Diagnosa peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
  6. Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna, pembuangan fokus septik, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
  7. Diagnosis bandingnya adalah appendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll.
  8. Komplikasi dari peritonitis meliputi komlpikasi dini dan komplikasi lanjut.
  9. Prognosisnya baik untuk peritonitis lokal dan ringan, dan pada peritonitis umum prognosisnya mematikan.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalamKapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
  2. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
  3. Way. L. W., 1998, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &Treatment7th Ed., Maruzen, USA.
  4. Wilson. L. M., Lester. L .B., 1995, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
  5. Schrock. T. R., 2000, Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
  6. Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta.
  7. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalamRadiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
  8. Schwartz. S. J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C., 2000, Peritonitis dan Abces Intraabdomen dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu BedahEd.6, alih bahasa dr. Laniyati, EGC, Jakarta.
  9. Dahlan. M., Jusi. D., Sjamsuhidajat. R., 2000, Gawat Abdomen dalamBuku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
  10. Putz.R., Pabst.R., 1997, Sobotta, Atlas Anatomi Manusia, EGC, Jakarta
  11. Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 1988, Abdominal Injuries in Essential Surgical Practice, 2nd Ed, John Wright, Bristol.
  12. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 696, EGC, Jakarta.
  13. Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
  14. Darmawan. M., 1995, Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah,FKUI, Jakarta
  15. Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.
  16. Anonim, 1998, Dorland, Kamus Saku Kedokteran, EGC, Jakarta.
  17. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma, Binarupa Aksara, Jakarta
  18. Cuschieri. A., 1988, Peritonitis in Essential Surgical Practice, 2nd Ed., John Wright, Bristol