Jumat, 28 Oktober 2011

Demam Thyfoid


Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik dikarakterisasikan oleh demam dan nyeri abdomen oleh karena diseminasi S. typhi atau S. paratyphi. Dinamai demam tifoid karena kemiripan gejala klinisnya dengan tifus.
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dan survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35.89% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1
Insiders demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi.2,3 Salmonela adalah bakteri gram negatif, termasuk ke dalam famili Enterobactericeae.
Seperti golongan Enterobactericeae yang lain, salmonela memiliki tiga antigen utama: antigen O [lipopolisakarida (LPS)], antigen Vi (surface antigen; S. typhi dan S. paratyphi C), dan antigen H (flagel). Secara umum, pada pemeriksaan laboratorium, Salmonella dibagi menjadi serogrup A, B, C1, C2, D, dan E. Pemeriksaan biokimia dan serologi tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi serotipe-serotipe ini.
S. typhi merupakan patogen enterik yang sangat virulen dan invasif yang menyerang manusia. Sumber penularan terutama melalui pencemaran makanan atau minuman oleh bakteri tersebut yang dikeluarkan melalui tinja penderita demam tifoid.5
Patogenesis & Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung. Sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan, selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Akibat difagositosisnya Salmonela, bakteri ini menjadi kebal terhadap respons imun PMN, komplemen, dan juga antibodi. Salmonela sudah berevolusi sedemikian rupa sehingga mampu menghindari/menunda proses ‘pembunuhan’ oleh makrofag. Hal ini dimungkinkan karena saat difagositosis, bakteri membentuk suatu “spacious phagosome” dan alterasi regulasi ~200 protein bakterial.
Sistem regulator yang paling terkenal adalah PhoP/PhoQ, duet komponen regulon yang mendeteksi perubahan lokasi dan ekspresi protein bakterial. Alterasi yang dimaksud adalah modifikasi LPS dan sintesis outer-membrane proteins; perubahan tersebut berkontribusi dalam remodeling permukaan membran bakteri sehingga mereka menjadi resisten terhadap aktivitas antimikroba dan signaling host cell. PhoP/PhoQ juga memediasi sintesis transporter kationik divalent yang men-scavenge magnesium. Dengan mekanisme sekresi second type III, Salmonela bisa secara langsung mentranslokasi protein bakterial ke dalam makrofag, fenomena yang dipercayai sebagai mekanisme survival bakteri di dalam sel fagosit.
Dengan ini, Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk, ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-¬tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk ke kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kernbali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.
Didalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di receptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu IoC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. tyhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin 0 (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin 0, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin 0 masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap Iebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1). Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi , 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang, sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat.
ELISA
Diagnosis demam tifus bergantung pada isolasi Salmonella enterica subsp. enterica serotype Typhi dari sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe typhi, yakni antigen O (LPS/ lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal). Pada penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998, dimana saat itu Tifus menjadi suatu endemi, diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi. Dan lagi terjadi peningkatan titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas tersebut. Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam tifus (Widal TO dan TH, anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick, dan IDeaL TUBEX).
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi basil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut :
1). Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan basil mungkin negatif;
2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit basil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3). Riwayat vaksinasi. Vaksmasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif;
4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
Tatalaksana Demam Tifoid
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan domain tifoid, yaitu:
Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil. dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan letap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan Terapi Penunjang
Diet merpakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
Pemberian Antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol (pilihan utama), tiamfenikol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, golongan florokuinon, dan dapat diberikan kombinasi obat antimikroba, dan kortikosteroid bila diperlukan.
Obat
Mekanisme kerja
Dosis
Keterangan
Kloramfenikol
Berikatan dengan unit 50S bakteri
Oral
4 x 500 mg sampai 7 hari bebas demam
Perbaikan dicapai dalam interval 3-7 hari. Tidak digunakan pada pasien anak.
Tiamfenikol
Berikatan dengan unit 50S ribosom bakteri
Oral
4 x 500 mg sampai 7 hari bebas demam
Perbaikan dicapai dalam 4-6 hari. Efek samping lebih ringan dari kloramfenikol. Tidak diberikan pada ibu hamil khususnya trimester 1
Ampisilin
Menghambat pembentukan dinding sel bakteri
Oral
75-150 mg/kg BB, terbagi 3 kali sehari, berikan selama 10-14 hari
Perbaikan dicapai dalam 3-5 hari
TMP-SMZ
Menghambat pembentukan asam dihidrofolat
2 x 2 tablet/hari (400 mg SMZ- 80 mg TMP) selama 2 minggu
Perbaikan dalam rentang yang sama dengan kloramfenikol
Ceftriaxone
Menghambat pembentukan dinding sel bakteri
3-4 gram dalam

Ciprofloxacin
Menghambat sintesis DNA bakterial
2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Teruskan pengobatan hingga 2-4 hari setelah gejala menghilang
Corticosteroid
Mengurangi inflamasi
Dexamethasone dosis tinggi
Pada kasus tifoid toxic, sepsis, peritonitis
Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :
  • Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
  • Komplikasi ekstra-intestinal:
  • Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
  • Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis.
  • Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritic.
  • Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
  • komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
  • komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.
  • komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.
Pencegahan
Vaksinasi
Vaksin diindikasikan bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Vaccine Name
How given
Number of doses necessary
Time between doses
Total time needed to set aside for vaccination
Minimum age for vaccination
Booster needed every…
Ty21a (Vivotif Berna, Swiss Serum and Vaccine Institute)
1 capsule
by mouth
4
2 days
2 weeks
6 years
5 years
ViCPS (Typhim Vi, Pasteur Merieux)
Injection
1
N/A
2 weeks
2 years
2 years
Referensi:
  1. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI; 2006. h. 1774-6.
  2. Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 15th ed. USA: McGraw Hill; 2001.p. 970-3.
  3. Brusch JL. Typhoid fever. Diunduh dari http://www.emedicine.com/MED/topic2331.htm pada tanggal 3 April 2008 pukul 09.20 WIB.
  4. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN, Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Jawetz, melnick & adelberg mikrobiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC; 1996. h. 243-7.
  5. Rafli A, Hidayati AD, Abdaly MS, Ekaputri K, Widiyanti R, Satrio S, et al. Aspek Molekular demam tifoid. Modul Biologi Molekular. FKUI: 2006.
  6. Lesser CF & Miller SI. Salmonellosis. Harrison’s Principle of Internal Medicine, 16th ed. USA: McGraw Hill Inc. 2005. p926-929.