Sabtu, 20 November 2010

Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri


Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung mikroba patogen di sekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respons imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraselular atau bakteri intraselular mempunyai karakteristik tertentu pula
Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.
Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, depresi disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi jarang diobati sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.
Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralisir patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada eukariota kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen. Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih efektif selama pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima adalah basis dari vaksinasi.
Respons pejamu yang terjadi juga tergantung dari jumlah mikroba yang masuk. Mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya meliputi
  1. Pertahanan fisik dan kimiawi, seperti kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi air mata, air liur, urin, asam lambung serta lisosom dalam air mata
  2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah invasi mikroorganisme
  3. Innate immunity (mekanisme non-spesifik), seperti sel polimorfonuklear (PMN) dan makrofag, aktivasi komplemen, sel mast, protein fase akut, interferon, sel NK (natural killer) dan mediator eosinofil
  4. Imunitas spesifik, yang terdiri dari imunitas humoral dan seluler. Secara umum pengontrolan infeksi intraselular seperti infeksi virus, protozoa, jamur dan beberapa bakteri intraselular fakultatif terutama membutuhkan imunitas yang diperani oleh sel yang dinamakan imunitas selular, sedangkan bakteri ekstraselular dan toksin membutuhkan imunitas yang diperani oleh antibodi yang dinamakan imunitas humoral. Secara keseluruhan pertahanan imunologik dan nonimunologik (nonspesifik) bertanggung jawab bersama dalam pengontrolan terjadinya penyakit infeksi.
Invasi Patogen
Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respon imun. Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan mereka dapat menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat sistem imun. Bakteri sering menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang mendalami isi perisai, contohnya dengan menggunakan sistem tipe II sekresi. Sebagai kemungkinan, patogen dapat menggunakan sistem tipe III sekresi. Mereka dapat memasukan tuba palsu pada sel, yang menyediakan saluran langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke pemilik tubuh; protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk mematikan pertahanan.
Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan sistem imun bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular). Disini, patogen mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya kedalam sel yang dilindungi dari kontak langsung dengan sel imun, antibodi dan komplemen. Beberapa contoh patogen intraselular termasuk virus, racun makanan, bakteri Salmonella dan parasit eukariot yang menyebabkan malaria (Plasmodium falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain, seperti Mycobacterium tuberculosis, hidup didalam kapsul protektif yang mencegah lisis oleh komplemen.  Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang mengurangi respon imun atau mengarahkan respon imun ke arah yang salah.  Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem imun. Biofilm ada pada banyak infeksi yang berhasil, seperti Pseudomonas aeruginosa kronik dan Burkholderia cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis.  Bakteri lain menghasilkan protein permukaan yang melilit pada antibodi, mengubah mereka menjadi tidak efektif; contoh termasuk Streptococcus (protein G), Staphylococcus aureus (protein A), dan Peptostreptococcus magnus (protein L).

Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok terbanyak dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas. Struktur sel mereka dijelaskan lebih lanjut dalam artikel mengenai prokariota, karena bakteri merupakan prokariota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota. Istilah “bakteri” telah diterapkan untuk semua prokariota atau untuk kelompok besar mereka, tergantung pada gagasan mengenai hubungan mereka.
Bakteri adalah yang paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka tersebar (berada di mana-mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak patogen merupakan bakteri. Kebanyakan dari mereka kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 μm, meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita). Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi dengan komposisi sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak yang bergerak menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain.
\
SPECIFIC ATTACHMENTS OF BACTERIA TO HOST CELL OR TISSUE SURFACES
Adhesin
Receptor
Attachment site
Disease
Streptococcus pyogenes
Protein F
Amino terminus of fibronectin
Pharyngeal epithelium
Sore throat
Streptococcus mutans
Glycosyl transferase
Salivary glycoprotein
Pellicle of tooth
Dental caries
Streptococcus salivarius
Lipoteichoic acid
Unknown 
Buccal epithelium of tongue 
None
Streptococcus pneumoniae
Cell-bound protein
N-acetylhexosamine-galactose disaccharide
Mucosal epithelium
pneumonia
Staphylococcus aureus
Cell-bound protein
Amino terminus of fibronectin
Mucosal epithelium
Various
Neisseria gonorrhoeae
Type IV pili (N-methylphenyl- alanine pili)
Glucosamine-galactose carbohydrate
Urethral/cervical epithelium
Gonorrhea
Enterotoxigenic E. coli
Type-I fimbriae
Species-specific carbohydrate(s) 
Intestinal epithelium
Diarrhea
Uropathogenic E. coli
Type I fimbriae
Complex carbohydrate
Urethral epithelium
Urethritis
Uropathogenic E. coli
P-pili (pap)
Globobiose linked to ceramide lipid
Upper urinary tract
Pyelonephritis
Bordetella pertussis
Fimbriae (“filamentous hemagglutinin”)
Galactose on sulfated glycolipids
Respiratory epithelium
Whooping cough
Vibrio cholerae
N-methylphenylalanine pili
Fucose and mannose carbohydrate
Intestinal epithelium
Cholera
Treponema pallidum
Peptide in outer membrane
Surface protein (fibronectin)
Mucosal epithelium
Syphilis
Mycoplasma
Membrane protein
Sialic acid
Respiratory epithelium 
Pneumonia
Chlamydia
Unknown
Sialic acid
Conjunctival or urethral epithelium
INFEKSI BAKTERI EKSTRASELULER
Strategi pertahanan bakteri
Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di dalam sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan. Berbagai jenis bakteri yang termasuk golongan bakteri ekstraseluler telah disebutkan pada bab sebelumnya. Bakteri ekstraseluler biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada infeksi bakteri berkapsul Streptococcus pneumoniae atau Haemophylus influenzae. Selain itu, kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri dapat dihambat. Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin yang meracuni leukosit. Strategi lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non fagosit sehingga memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit .
Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari kerusakan oleh komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan pemecahan C3 konvertase. Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator tersebut, sehingga akan mengaktifkan jalur alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b konvertase pada permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul bakteri akan menyebabkan aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk.
            Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen melalui aksi produk mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja regulator aktivasi komplemen. Bahkan beberapa spesies dapat menghindari lisis dengan cara mengalihkan lokasi aktivasi komplemen melalui sekresi protein umpan (decoy protein) atau posisi permukaan bakteri yang jauh dari membran sel. Beberapa organisme Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan tebal yang menghambat insersi komplek serangan membran C5b-9 pada membran sel bakteri .
Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-lisosom dan mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga dimiliki oleh beberapa bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim yang terlibat dalam sintesis struktur permukaan dan variasi antigenik pili.Keadaan sistem imun yang dapat menyebabkan bakteri ekstraseluler sulit dihancurkan adalah gangguan pada mekanisme fagositik karena defisiensi sel fagositik (neutropenia) atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit granulomatosa kronik).
 

Mekanisme pertahanan bakteri ekstraseluler.
 
EXTRACELLULAR BACTERIAL PROTEINS THAT ARE CONSIDERED INVASINS

Invasin

Bacteria Involved

Activity

Hyaluronidase Streptococci, staphylococci and clostridia Degrades hyaluronic of connective tissue
Collagenase Clostridium species Dissolves collagen framework of muscles
Neuraminidase Vibrio cholerae and Shigella dysenteriae Degrades neuraminic acid of intestinal mucosa
Coagulase Staphylococcus aureus Converts fibrinogen to fibrin which causes clotting
Kinases Staphylococci and streptococci Converts plasminogen to plasmin which digests fibrin
Leukocidin Staphylococcus aureus Disrupts neutrophil membranes and causes discharge of lysosomal granules
Streptolysin Streptococcus pyogenes Repels phagocytes and disrupts phagocyte membrane and causes discharge of lysosomal granules
Hemolysins Streptococci, staphylococci and clostridia  Phospholipases or lecithinases that destroy red blood cells (and other cells) by lysis
Lecithinases Clostridium perfringens Destroy lecithin in cell membranes
Phospholipases  Clostridium perfringens Destroy phospholipids in cell membrane
Anthrax EF  Bacillus anthracis One component (EF) is an adenylate cyclase which causes increased levels of intracellular cyclic AMP 
Pertussis AC Bordetella pertussis One toxin component is an adenylate cyclase that acts locally producing an increase in intracellular cyclic AMP
Mekanisme pertahanan tubuh
Respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil aktivasi ini adalah C3b yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan kompleks membran dan respons inflamasi akibat pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan sel lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin akan menginduksi adesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut.
Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah.
Opsonisasi
Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang tidak tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi.
Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi oleh antibodi.
Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen yang diperantarai oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek augmentasi dari komplemen berasal dari molekul IgG yang dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah hubungan ke makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun IgM tidak terikat secara spesifik pada makrofag, namun merangsang adesi melalui pengikatan komplemen.
Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap  neutrofil untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik.
Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi pada dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel. Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri yang telah menginfeksi.
Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri tersebut.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu. Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan superoksida dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).
Sistem imun sekretori
Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi oleh neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri melalui disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA sekretori dan IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada usus besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi terhadap neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya adalah IgE. Adanya kontak antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan mediator yang menarik agen respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi IgG dan komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang memperkuat permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik .
Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Strategi pertahanan bakteri

Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan obligat. Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi tidak dapat dihancurkan oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini dapat terjadi karena bakteri tidak dapat dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga mekanisme respons imun terhadap bakteri intraseluler juga berbeda dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler. Beberapa jenis bakteri seperti basil tuberkel dan leprosi, dan organisme Listeria dan Brucella menghindari perlawanan sistem imun dengan cara hidup intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit mononuklear, karena sel tersebut mempunyai mobilitas tinggi dalam tubuh. Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan fagosit setelah bakteri mengalami opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag, bakteri tersebut melakukan perubahan mekanisme pertahanan.
Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga mekanisme, yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri, 2) lipid mikobakterial seperti lipoarabinomanan menghalangi pembentukan ROI (reactive oxygen intermediate) seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan terjadinya respiratory burst, 3) menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas dalam sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya (Gambar 13-4).
 


Mekanisme pertahanan tubuh

Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat penting dalam mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag dan membunuh organisme intraseluler, terutama melalui pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide (NO). Selanjutnya makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak substansi yang berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi  lisis sel yang diperantarai oleh sel T CD8.
         Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang terkativasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebaran. Hal ini dapat berlanjut pada nekrosis jaringan dan fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi bakteri intraseluler.
Daftar Pustaka
  • Hardegree MC, Tu AT (eds): Handbook of Natural Toxins. Vol.4: Bacterial Toxins. Marcel Dekker, New York, 1988
  • Iglewski BH, Clark VL (eds): Molecular Basis of Bacterial Pathogenesis. Vol. XI of The Bacteria: A Treatise on Structure and Function. Academic Press, Orlando, FL, 1990
  • Buku Ajar Alergi Imunologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi 2.
  • Luderitz O, Galanos C: Endotoxins of gram-negative bacteria. p.307. In Dorner F, Drews J (eds): Pharmacology of Bacterial Toxins. International Encyclopedia of Pharmacology and Therapeutics, Section 119. Pergamon, Elmsford, NY, 1986
  • Mims CA: The Pathogenesis of Infectious Disease. Academic Press, London, 1976
  • Payne SM: Iron and virulence in the family Enterobacteriaceae. Crit Rev Microbiol 16:81, 1988
  • Sack RB: Human diarrheal disease caused by enterotoxigenic Escherichia coli. Annu Rev Microbiol 29:333, 1975
  • Salyers, AA, Whitt DD: Bacterial Pathogenesis – A Molecular Approach ASM Press, 1994
  • Smith H: Microbial surfaces in relation to pathogenicity. Bacteriol Rev 41:475, 1977
  • Smith H, Turner JJ (eds): The Molecular Basis of Pathogenicity. Verlag Chemie, Deerfield Beach, FL, 1980
  • Weinberg ED: Iron withholding: a defense against infection and neoplasia. Physiol Rev 64:65, 1984
  • Eisenstein TK, Actor P, Friedman H: Host Defenses to Intracellular Pathogens. Plenum Publishing Co, New York, 1983
  • Finlay BB, Falkow S: Common themes in microbial pathogenicity. Microbiol Rev 53:210, 1989
  • Foster TJ: Plasmid-determined resistance to antimicrobial drugs and toxic metal ions in bacteria. Microbiol Rev 47:361, 1983

Mekanisme pertahanan tubuh terhadap virus

Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya manusia dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.
Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, depresi disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi jarang diobati sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.
Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi penyakit. Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan berlangsung.
INFEKSI  VIRUS
Strategi pertahanan virus

Virus adalah mikroorganisme yang mengadakan replikasi di dalam sel dan kadang-kadang memakai asam nukleat atau protein pejamu. Sifat virus yang sangat khusus adalah:
  1. Mengganggu sel khusus tanpa merusak. Virus yang tidak menyebabkan kerusakan sel disebut virus non sitopatik (non cytopathic virus). Bila terjadi kerusakan sel, maka hal ini akibat reaksi antigen antibodi. Virus ini dapat menjadi persisten dan akhirnya menjadi kronik, sebagai contoh adalah virus hepatitis B
  2. Virus merusak sel atau mengganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari tubuh, dan virus seperti ini disebut virus sitopatik (cytopathic virus), sebagai contoh infeksi virus HIV, infeksi hepatitis virus lain, dan sebagainya. 
  3. Dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulkan respons inflamasi
  4. Dapat berkembang biak dalam sel pejamu tanpa merusak
Dalam melawan sistem imun, virus secara kontinu mengganti struktur permukaan antigennya melalui mekanisme antigenic drift dan antigenic shift, seperti yang dilakukan oleh jenis virus influenza. Permukaan virus influenza terdiri dari hemaglutinin, yang diperlukan untuk adesi ke sel saat infeksi, dan neuramidase, yang diperlukan untuk menghasilkan bentuk virus baru dari permukaan asam sialik dari sel yang terinfeksi. Hemaglutinin lebih penting dalam hal pembentukan imunitas pelindung. Perubahan minor dari antigen hemagglutinin terjadi melalui titik mutasi di genom virus (drift), namun perubahan mayor terjadi melalui perubahan seluruh material genetik (shift) (Gambar 13-5).
Virus hepatitis B dapat menunjukkan variasi epitop yang berfungsi sebagai antagonis TCR yang mampu menghambat antivirus sel T sitotoksik. Beberapa virus juga dapat mempengaruhi proses olahan dan presentasi antigen. Virus dapat mempengaruhi mekanisme efektor imun karena mempunyai reseptor Fcγ sehingga menghambat fungsi efektor yang diperantarai Fc. Virus dapat menghambat komplemen dalam induksi respons inflamasi sehingga juga menghambat pemusnahan virus. Beberapa virus juga menggunakan reseptor komplemen untuk masuk ke dalam sel dan virus lainnya dapat memanipulasi imunitas seluler, seperti menghambat sel T sitotoksik.

Mekanisme pertahanan tubuh
Respons imun nonspesifik terhadap infeksi virus
Secara jelas terlihat bahwa respons imun yang terjadi adalah timbulnya interferon dan sel natural killler (NK) dan antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut. Pengenalan dan pemusnahan sel yang terinfeksi virus sebelum terjadi replikasi sangat bermanfaat bagi pejamu. Permukaan sel yang terinfeksi virus mengalami modifikasi, terutama dalam struktur karbohidrat, menyebabkan sel menjadi target sel NK. Sel NK mempunyai dua jenis reseptor permukaan. Reseptor pertama merupakan killer activating receptors, yang terikat pada karbohidrat dan struktur lainnya yang diekspresikan oleh semua sel. Reseptor lainnya adalah killer inhibitory receptors, yang mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi. Oleh karena itu sensitivitas sel target tergantung pada ekspresi MHC kelas I. Sel yang sensitif atau terinfeksi mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel yang tidak terinfeksi dengan molekul MHC kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK. Produksi IFN-α selama infeksi virus akan mengaktivasi sel NK dan meregulasi ekspresi MHC pada sel terdekat sehingga menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel NK juga dapat berperan dalam ADCC bila antibodi terhadap protein virus terikat pada sel yang terinfeksi.

Beberapa mekanisme utama respons nonspesifik terhadap virus, yaitu :
  1. Infeksi virus secara langsung yang akan merangsang produksi IFN oleh sel-sel terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus
  2. Sel NK mampu membunuh virus yang berada di dalam sel, walaupun virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC klas I. IFN tipe I akan meningkatkan kemampuan sel NK untuk memusnahkan virus yang berada di dalam sel. Selain itu, aktivasi komplemen dan fagositosis akan menghilangkan virus yang datang dari ekstraseluler dan sirkulasi.

Respons imun spesifik terhadap infeksi virus
Mekanisme respons imun spesifik ada dua jenis yaitu respons imunitas humoral dan selular. Respons imun spesifik ini mempunyai peran penting yaitu :
  1. Menetralkan antigen virus dengan berbagai cara antara lain menghambat perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel sehingga virus tidak dapat menembus membran sel, dan dengan cara mengaktifkan komplemen yang menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis
  2. Melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.
Molekul antibodi dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibodi dapat menghambat kombinasi virus dengan reseptor pada sel, sehingga mencegah penetrasi dan multiplikasi intraseluler, seperti pada virus influenza. Antibodi juga dapat menghancurkan partikel virus bebas melalui aktivasi jalur klasik komplemen atau produksi agregasi , meningkatkan fagositosis dan kematian intraseluler.
            Kadar konsentrasi antibodi yang relatif rendah juga dapat bermanfaat khususnya pada infeksi virus yang mempunyai masa inkubasi lama, dengan melewati aliran darah terlebih dahulu sebelum sampai ke organ target, seperti virus poliomielitis yang masuk melalui saluran cerna, melalui aliran darah menuju ke sel otak. Di dalam darah, virus akan dinetralisasi oleh antibodi spesifik dengan kadar yang rendah, memberikan waktu tubuh untuk membentuk resposn imun sekunder sebelum virus mencapai organ target.
Infeksi virus lain, seperti influenza dan common cold, mempunyai masa inkubasi yang pendek, dan organ target virus sama dengan pintu masuk virus. Waktu yang dibutuhkan respons antibodi primer untuk mencapai puncaknya menjadi terbatas, sehingga diperlukan produksi cepat interferon untuk mengatasi infeksi virus tersebut. Antibodi berfungsi sebagai bantuan tambahan pada fase lambat dalam proses penyembuhan. Namun, kadar antibodi dapat meningkat pada cairan lokal yang terdapat di permukaan yang terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru. Pembentukan antibodi antiviral, khususnya IgA, secara lokal menjadi penting untuk pencegahan infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila terjadi perubahan antigen virus.
Virus menghindari antibodi dengan cara hidup intraseluler. Antibodi lokal atau sistemik dapat menghambat penyebaran virus sitolitik yang dilepaskan dari sel pejamu yang terbunuh, namun antibodi sendiri tidak dapat mengontrol virus yang melakukan budding dari permukaan sel sebagai partikel infeksius yang dapat menyebarkan virus ke sel terdekat tanpa terpapar oleh antibodi, oleh karena itu diperlukan imunitas seluler.
Respons imunitas seluler juga merupakan respons yang penting terutama pada infeksi virus nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T sitotoksik yang bersifat protektif, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respons infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan membantu  terjadinya respons imun yang bawaan dan didapat. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-a dan IFN-b.
Kerja IFN sebagai antivirus adalah :
  1. Meningkatkan ekspresi  MHC kelas I
  2. Aktivasi sel NK dan makrofag
  3. Menghambat replikasi virus
  4. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang terinfeksi.
Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik langsung pada sel yang teinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada permukaan sel target oleh reseptor αβ spesifik di limfosit. Semakin cepat sel T sitotoksik menyerang virus, maka replikasi dan penyebaran virus akan cepat dihambat.
Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptida antigen virus pada permukaannya yang terkait dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk. Pemusnahan cepat sel yang terinfeksi oleh sel T sitotoksik αβ mencegah multiplikasi virus. Sel T sitotoksik γδ menyerang virus (native viral coat protein) langsung pada sel target.
Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus akan melepaskan sitokin seperti IFN-γ dan kemokin makrofag atau monosit. Sitokin ini akan menarik fagosit mononuklear dan teraktivasi untuk mengeluarkan TNF. Sitokin TNF bersama IFN-γ akan menyebabkan sel menjadi non-permissive, sehingga tidak terjadi replikasi virus yang masuk melalui transfer intraseluler. Oleh karena itu, lokasi infeksi dikelilingi oleh lingkaran sel yang resisten. Seperti halnya IFN-α, IFN-γ meningkatkan sitotoksisitas sel NK untuk sel yang terinfeksi.
Antibodi dapat menghambat sel T sitotoksik γδ melalui reaksi dengan antigen permukaan pada budding virus yang baru mulai, sehingga dapat terjadi proses ADCC. Antibodi juga berguna dalam mencegah reinfeksi.
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza dan HIV atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus membatasi diri (self-limiting), namun sebagian lain menyebabkan gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka panjang. Pengenalan sel target oleh sel T sitotoksik spesifik virus dapat melisis sel target yang mengekspresikan peptida antigen yang homolog dengan region berbeda dari protein virus yang sama, dari protein berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari virus yang berbeda. Aktivasi oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori dan imunitas spontan dari virus lain setelah infeksi virus inisial dengan jenis silang. Demam dengue dan demam berdarah dengue merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang terjadi cukup lama apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan serotipe yang berbeda maka imunitas yang terjadi akan berbeda. Gangguan pada organ hati pada demam berdarah dengue telah dibuktikan dengan ditemukannya RNA virus dengue dalam jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus dengue ternyata menyerang sel kupffer dan hepatosit sehingga terjadi gangguan di hati
Contoh Patogenesis Virus Infuenza
Virus influenza menyebar dari orang ke orang melaui droplet di udara atau melaui kontak dengan permukaan tangan yang tercemar. Beberapa sel epitel pernafasan terinfeksi jika partikel virus yang terkumpul menolak dikeluarkan oleh reflex batuk dan lepas dari netralisasi oleh antibody IgA spesefik yang sudah ada atau dari inaktivasi oleh penghambat non terbentuk dan menyevar ke sel yang berdekatan, dimana siklus replikasi berulang. DNA virus menurunkan viskositas lapisan mucus di saluran pernafasan, membuka reseptor permukaan sel dan meningkatkan penyebaran cairan yang mengandung virus ke bagian saluran yang lebih di bawah. Dalam waktu singkat, banyak sel saluran pernafasan terinfeksi, kadang kala terbunuh.
Masa inkubasi dari paparan virus ke onset penyakit bervariasi dari 1 sampai 4 hari, tergantung dari besarnya umlah virus dan status imun inang. Pelepasan virus dimulai pada hari sebelum onset gejala, memuncak dalam 24 jam, tetap meningkat selama 1 sampai 2 hari, dan kemudian menurun cepat. Virus infeksius sanat jarang ditemukan dari darah.
Interferon dapat terdeteksi pernafasan sekitar satu hari setelah mulai pelepasan virus. Virus influenza peka terhadap efek antivirus dari interferon, dan diyakini bahwa respon interferon member andil dalam kesembuhan dari infeksi. Respon antibody spesifik dan cell mediated tidak dapat dideteksi selama 1-2 hari minggu berikutnya.
Infeksi influenza menyebabkan kerusakan seluler dan deskuamasi mukosa malalui permukaan dari saluran pernafasan tetapi tidak mempengaruhi lapisan dasar epitel. Perbaikan sempurna kerusakan sel mungkin memakan waktu 1 bulan. Kerusakan oleh virus pada eitel saluran pernafasan, menurunkan resistensinya terhadap invasi sekunder bakteri trutama staphylococcus, streptococcus, dan Haemophylus influenzae. Edema dan infiltrasi mononuclear dalam respon rterhadap kematian sel dan deskuamasi karena replikasi virus agaknya menyebabkan gejala lokal. Gejala sistemik yang menonjol yang berkaiotan dengan influenza mungkin mencerminkan produksi sitokinin

Demam dengue

Definisi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau nyamuk Aedes albopictus, dengan manifestasi klinis demam akut, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi; yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.1 Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Selain DF dan DHF, kita mengenal pula suatu keadaan yang lebih parah yaitu DSS. Sindrom renjatan dengue (DSS) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh syok.1,2
Epidemiologi
Indonesia merupakan wilayah endemis DHF dengan sebaran terdapat di seluruh wilayah tanah air. Insidens DHF di Indonesia mencapai 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998 dan mortalitasnya mencapai 2% pada tahun 1999.1

Etiologi
DF dan DHF disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm yang terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4×106.3,4
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan baik DF maupun DHF. Keempat serotipe tersebut sudah ditemukan di Indonesia serotipe terbanyak berupa DEN-3.4,5
Masa inkubasi virus dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (dalam rentang 3-14 hari), selama masa itu dapat timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang, dan perasaan lelah.
Vektor
Penularan infeksi virus Dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes. Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti, sedangkan vektor potensialnya adalah Aedes albopictus.1,3,5
Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif setelah 8-14 hari (masa inkubasi ekstrinsik). Pada manusia, manifestasi penyakit klinis dimulai 2-15 hari setelah gigitan nyamuk yang infektif. Sekali menjadi infektif, nyamuk akan tetap infektif hanya selama masa hidupnya. Virus Dengue tidak diturunkan dari satu generasi nyamuk ke generasi berikutnya.1
Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam dan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya (terutama kaki) dan dikenali dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran lira yang putih pada punggung (mesonotumnya). Telur Aedes aegypti mempunyai dinding bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Larvanya mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral.4
Spesies ini mengalami metamorfosis sempurna.4 Nyamuk betina meletakkan telurnya di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata hingga 100 butir telur setiap kali ia bertelur. Setelah kira-kira 2 hari, telur menetas menjadi larva lalu mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali. Larva tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan telur menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.4
Tempat-tempat perindukan utama nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air jernih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perindukan tersebut dapat berupa tempat penyimpanan air minum, bak mandi, jambangan/pot bunga, kaleng, botol, drum, atau ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau di kebun yang berisi air hujan. Selain itu, bisa juga berupa tempat perindukan alamiah seperti kelopak daun tanaman keladi atau pisang, tempurung kelapa, tonggak bambu, atau lubang pohon yang berisi air hujan.4
Nyamuk dewasa betina menghisap darah manusia baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Pengisapan darah dilakukan setiap hari dengan dua puncak waktu yaitu sekitar pukul 08.00-10.00 dan pukul 15.00-17.00. Tempat hinggap (peristirahatan) Aedes aegypti bisa berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat di halaman/kebun/pekarangan rumah, dapat pula berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah, dan lain sebagainya. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas mencapai sekitar 10 hari.4 Nyamuk ini mampu terbang maksimal 2 kilometer walaupun jarak terbangnya adalah pendek sekitar 40 meter saja.4
Aedes aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia. Walau spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat, ia bisa ditemukan pula di pedesaan. Penyebarannya terjadi melalui larva yang terbawa melalui transportasi yang mengangkut benda-benda berisi air hujan. Dengan umurnya yang pendek, nyamuk ini masih mampu menularkan virus yang masa inkubasinya berkisar antara 3-10 hari.
Kasus-kasus DHF setiap tahunnya pada umumnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan yaitu tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina seperti wadah yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, tempat penampungan air hujan, dan lain sebagainya). Penyakit dengue ini masuk ke Indonesia sejak tahun 1968 melalui pelabuhan Surabaya dan pada tahun 1980 DHF telah dilaporkan tersebar luas dan telah melanda seluruh propinsi Indonesia.
Berikut ini beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus Dengue yaitu:
  1. vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain
  2. pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis kelamin
  3. lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk
Patogenesis
Patogenesis pasti terjadinya DHF sampai saat ini masih diperdebatkan. Akan tetapi, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DHF dan DSS khususnya mekanisme immune enhancement.1,5
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DHF adalah:1
  1. respons imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus Dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
  2. limfosit T baik CD4 maupun CD8 berperan dalam respon imun seluler terhadap virus Dengue. Diferensiasi CD4 yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin; sedangkan TH2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
  3. monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
  4. aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Kurane dan Ennis (1994) menyatakan bahwa infeksi virus Dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non-netralisasi sehingga virus bereplikasi di dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi CD4 dan CD8 sehingga diproduksi interferon gamma dan limfokin. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresilah berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadilah kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.1,5
Trombositopenia pada infeksi virus Dengue terjadi melalui mekanisme supresi sumsum tulang dan destruksi serta pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai, akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadinya trombositopenia justru menunjukkan kenaikan. Hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosis terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosis selama proses koagulopati, dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosis terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin, dan PF4 yang merupakan pertanda degranulasi trombosit.1
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Aktivasi koagulasi pada DHF terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).
Manifestasi Klinis
Spektrum klinis
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue dapat bersifat asimptomatik atau dapat berupa demam akut yang tidak khas, baik DF, DHF, maupun DSS. Pada umumnya pasien akan mengalami fase demam akut selama 2-7 hari. Demam akut tersebut dapat timbul mendadak atau dapat hanya berupa gejala-gejala prodromal berupa perasaan tidak enak badan, menggigil, dan sakit kepala. Rasa sakit segera timbul, khususnya pada punggung, sendi, otot, dan bola mata. WHO (1997)  mendefinisikan spektrum klinis infeksi virus dengue sebagai berikut.1,5

Secara umum manifestasi klinis DD dan DBD, yaitu:
Demam
Demam akut akan diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase kritis ini pasien sudah tidak lagi demam, tetapi mempunyai risiko untuk terjadi syok jika tidak mendapat penanganan atau pengobatan yang adekuat. Suhu dapat kembali normal setelah 5-6 hari atau dapat mereda sekitar hari ketiga dan meningkat kembali sekitar 5-8 hari setelah timbulnya penyakit (bentuk saddle-back).1,5
Ruam
Jenis perdarahan yang terbanyak ditemui pada kasus DBD adalah perdarahan pada pemeriksaan. Rumpel leede, petekie, ekimosis, dan perdarahan konjungtiva, selain itu pada anak sering juga dijumpai epistaksis. Petekie dengan gigitan nyamuk dibedakan dengan menekan ruam merahnya, sifat petekie adalah tidak menghilang dengan penekanan.
Hepatomegali
Pembesaran hati umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit dengan besaran just palpable hingga 2-4 cm, namun demikian derajat pembesaran tidak berhubungan dengan keparahan penyakitnya.
Syok
Pada kasus tertentu setelah beberapa hari demam kondisi pasien semakin memburuk khususnya setelah demam mulai turun yaitu pada hari 3-7. Perburukan kondisi ini ditandai dengan kegagalan sirkulasi seperti kulit dingin dan lembab terutama ujung kaki dan jari, sianosis, nadi cepat dan lemah, lalu diikuti dengan lemah dan gelisah, tanda-tanda seorang pasien hendak jatuh dalam kondisi syok. Tekanan nadi pasien shock (Sistolik-diastolik) menjadi kurang dari <20 mmHg, disertai dengan nadi yang semakin lemah dan cepat, hipotensi, dan kulit pucat.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk menapis pasien tersangka DF adalah melalui pemeriksaan kadar Hb, Ht, jumlah trombosis, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.5 Secara umum parameter laboratoris yang bisa ditemukan dapat dilihat pada tabel 1. Berikut:
Tabell 1. Parameter laboratorium pada infeksi virus dengue
Parameter Waktu Nilai
Leukosit Awal demam-akhir demam Normal kemudian menurun sehingga nilai limfosit meningkat relatif. Dapat ditemukan sel limfosit atipikal (limfosit plasma biru di darah tepi) dengan jumlah per LPB > 4% di hari ke 3-7
Trombosit Hari ke-3 sampai hari ke-7 Jumlah trombosit mulai turun, nilai dapat mencapai <100.000/uL. Pemeriksaan kadar trombosit ini bila perlu dapat dilakukan setiap hari hingga suhu tubuh pasien turun.
Hematokrit
Hematokrit diperiksa untuk menemukan hemokonsentrasi, sehingga baik untuk dilakukan berkala. Peningkatan Hematokrit >20% mencerminkan perembesan plasma
Kadar protein
Hipoproteinemia jika terjadi kebocoran plasma
Hemostasis
Jika ditemukan kelaianan dalam pembekuan darah/perdarahan
Selain pemeriksaan laboratorium standar, saat ini juga dapat dilakukan berbagai pemeriksaan serologi seperti terdapat dalam tabel berikut
Uji Serologi Prinsip Ukuran
Hemaglutinasi inhibisi Antigen-antibodi Kenaikan titer konvalesen 4X lipat dari titer akut atau nilai >1280 ketika kondisi akut/konvalesen menunjukkan presumptive positif infeksi dengue
IgM Elisa Antigen-antbodi; IgM muncul pada hari ke 4-5 setelah infeksi, diikuti oleh terbentuknya IgG Jika pada hari Ke-6 masih (-) maka dapat dikatakan infeksi virus dengue negatif
NS-1 Antigen detection Deteksi antigen non-struktural Beberapa pusat kesehatan di Indonesia telah mulai menggunakan NS-1 untuk mendeteksi infeksi virus dengue sejak dini
Diagnosis

Kriteria diagnosis Demam Dengue
DF merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari ditandai oleh 2 atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
  1. nyeri kepala
  2. nyeri retro-orbital
  3. mialgia/artralgia
  4. ruam kulit
  5. manifestasi perdarahan (petekiae atau uji tourniquet/uji bendung memberikan hasil positif)
  6. leukopenia
dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DF/DHF yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Kriteria diagnosis Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DHF ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:
1. demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan sebagai berikut:
  • uji bendung positif (uji tourniquet positif): >20 petekiae dalam 2,54 cm2
  • petekie, ekimosis, atau purpura
  • perdarahan mukosa (epistaksis atau perdarahan gusi) atau perdarahan saluran cerna, bekas suntikan, atau di tempat lain
  • hematemesis atau melena
3. trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/mm3)
4. terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
-       peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin dari populasi yang sama
-       penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit awal sebelumnya
-       tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, efusi perikard, asites, atau hipoproteinemia
Kriteria Dengue Shock Syndrome
DSS didiagnosis bila terdapat seluruh kriteria DHF disertai kegagalan sirkulasi (syok) dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab, serta gelisah. DHF derajat III dan IV digolongkan ke dalam DSS.

Klasifikasi DHF
  1. Derajat I: demam disertai gejala konstitusional tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji tourniquet positif dan/atau mudah memar
  2. Derajat II: derajat I disertai perdarahan spontan
  3. Derajat III: terdapat kegagalan sirkulasi seperti nadi cepat dan lemah atau hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah
  4. Derajat IV: tekanan darah dan nadi tidak teratur, fase syok (Dengue Shock Syndrome)
Pencegahan
Pencegahan DHF dapat dilakukan dengan mengendalikan vektornya. Pengendalian nyamuk vektor virus Dengue ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
  1. perlindungan perseorangan untuk mencegah terjadinya gigitan yaitu memasang kawat kasa di lubang angin di atas jendela atau pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida, dan penggunaan obat anti nyamuk saat berkebun.
  2. pembuangan atau mengubur benda-benda di pekarangan atau kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban mobil, dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes aegypti.
  3. mengganti air atau membersihkan tempat-tempat air secara teratur setiap minggu sekali, pot bunga, tempayan, dan bak mandi.
  4. pemberian Abate ke dalam tempat penampungan/penyimpanan air.
  5. fogging dengan malathion setidaknya 2 kali dengan jarak waktu 10 hari di daerah yang terkena.
  6. rutin membersihkan saluran air terutama di musim hujan di mana biasanya air hujan tergenang.
  7. pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar rakyat dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk di sekitar rumah.
Referensi:
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed.4. jil.3. cet.2. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2. Rani HAA, Soegondo S, Nasir AUZ, et al (eds). Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Jakarta; 2004.
3. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN, Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi Kedokteran. ed.20. Nugroho E, Maulany RF (alih bahasa). Setiawan I (ed). Jakarta: EGC; 1996.
4. Djakaria S. Vektor Penyakit Virus, Riketsia, dan Bakteri. Dalam: Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (eds). Parasitologi Kedokteran. ed.2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992.
5. Hadinegoro S R, Soegijanto S, Wuryadi S, & Suroso S. Tatalakasana demam berdarah di Indonesia, Ed. 3. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2004.

Arthritis reumatoid

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH

Tulang membentuk formasi endoskeleton yang kaku dan kuat dimana otot-otot skeletal menempel sehingga memungkinkan terjadinya pergerakan. Tulang juga berperan dalam penyimpanan dan homeostasis kalsium. Kebanyakan tulang memiliki lapisan luar tulang kompak yang kaku dan padat. Tulang dan kartilago merupakan jaringan penyokong sebagai bagian dari jaringan pengikat tetapi keduanya memiliki perbedaan pokok antara lain tulang memiliki system kanalikuler yang menembus seluruh substansi tulang, tulang memiliki jaringan pembuluh darah untuk nutrisi sel-sel tulang, serta tulang hanya dapat tumbuh secara aposisi. Kerusakan tulang akibat infeksi akan menyebabkan proses homeostasis tulang terganggu hingga terjadi manifestasi klinis suatu penyakit tulang.
Pada skenario “Kaku Sendi” dengan keluhan kaku di jari-jari tangan kanan dan kiri yang berlangsung selama satu sampai dua jam terutama saat pagi hari yang disertai nyeri. Keluhan itu timbul sejak 2 tahun yang lalu. Selain itu didapatkan morning stiffness, pain of motion, swelling dan deformitas pada jari-jari tangan kanan dan kiri. Pada pemeriksaan X-foto jari tangan, didapatkan hasil tampak erosi, swelling dan disarsitektur tulang. Dari hasil Bone Mineral Density, didapatkan hasil osteopenia. Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan LED meningkat dan rheumatoid factor positif.




TINJAUAN PUSTAKA
  1. Definisi
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini.hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti
  1. Epidemiologi
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria.


  1. Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma atau virus.
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60 sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress. Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien AR, mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.

  1. Anatomi
Beberapa komponen penunjang sendi:
Kapsula sendi adalah lapisan berserabut yang melapisi sendi. Di bagian dalamnya terdapat rongga.
Ligamen (ligamentum) adalah jaringan pengikat yang mengikat luar ujung tulang yang saling membentuk persendian. Ligamentum juga berfungsi mencegah dislokasi.
Tulang rawan hialin (kartilago hialin) adalah jaringan tulang rawan yang menutupi kedua ujung tulang. Berguna untuk menjaga benturan.
Cairan sinovial adalah cairan pelumas pada kapsula sendi.
Macam-macam persendian
Sinartrosis
Adalah persendian yang tidak memperbolehkan pergerakan. Dapat dibedakan menjadi dua:
Sinartrosis sinfibrosis: sinartrosis yang tulangnya dihubungkan jaringan ikat fibrosa. Contoh: persendian tulang tengkorak.
Sinartrosis sinkondrosis: sinartrosis yang dihubungkan oleh tulang rawan. Contoh: hubungan antarsegmen pada tulang belakang.
Diartrosis
Diartrosis adalah persendian yang memungkinkan terjadinya gerakan. Dapat dikelempokkan menjadi:
Sendi peluru: persendian yang memungkinkan pergerakan ke segala arah. Contoh: hubungan tulang lengan atas dengan tulang belikat.
Sendi pelana: persendian yang memungkinkan beberapa gerakan rotasi, namun tidak ke segala arah. Contoh: hubungan tulang telapak tangan dan jari tangan.
Sendi putar: persendian yang memungkinkan gerakan berputar (rotasi). Contoh: hubungan tulang tengkorak dengan tulang belakang I (atlas).
Sendi luncur: persendian yang memungkinkan gerak rotasi pada satu bidang datar. Contoh: hubungan tulang pergerlangan kaki.
Sendi engsel: persendian yang memungkinkan gerakan satu arah. Contoh: sendi siku antara tulang lengan atas dan tulang hasta.
Amfiartosis
Persendian yang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan sehingga memungkinkan terjadinya sedikit gerakan
Sindesmosis: Tulang dihubungkan oleh jaringan ikat serabut dan ligamen. Contoh:persendian antara fibula dan tibia.
Simfisis: Tulang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan yang berbentuk seperi cakram. Contoh: hubungan antara ruas-ruas tulang belakang.
  1. Patofisiologi
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor β ­­­(TNF-β), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNFβ. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.
  1. Gejala Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
  1. Diagnosis
Diagnosa arthritis reumatod dapat dikatakn positif apabila sekurang-kurangnya empat dari criteria yang sekurang-kurangnya sudah berlangsung selama 6 minggu. Kriteria tersebut adalah:
    • Kekakuan dipagi hari lamanya paling tidak I jam
    • Arthritis pada tiga atau lebih sendi
    • Arthritis sendi-sendi jari tangan
    • Arthritis yang simetris
    • Nodul rheumatoid
    • Faktor rheumatoid dalam serum
    • Perubahan-perubahan radiologic, seperti:
Pembengkakan jaringan lunak
Erosi
Osteopororosis artikular
Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis, yaitu:
Pemeriksaan cairan synovial
Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding terbalik dengan cairan sinovium.
Pemeriksaan darah tepi
Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
Pemeriksaan kadar sero-imunologi
Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul subkutan.
Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
  1. Penatalaksanaan
a. Obat
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.
b. Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
c.Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan cara:
· Mengurangi rasa nyeri
· Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
· Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
· Mencegah terjadinya deformitas
· Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
· Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.




PEMBAHASAN
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif. Penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis reumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progesifitasnya. Pada umumnya selain gejala artikular, AR dapat pula menunjukkan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non artikular lainnya.
Penderita mengeluh nyeri, kekakuan, dan pada pemeriksaan ditemukan deformitas serta erosi tulang. Hal ini karena pada artritis Reumatoid lapisan selaput sendi (sinovium) meradang, sehingga menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago dan terjadilah erosi tulang. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk (deformitas) dan kehilangan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak.
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.
Pemeriksaan penunjang tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien.



Pada pemeriksaan laboraturium terdapat:
Foto Rontgen, biasanya ditemukan deformitas dan diarsitektur tulang.
Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
Protein C-reaktif biasanya positif.
LED meningkat.
Leukosit normal atau meningkat sedikit.
Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
Trombosit meningkat.
Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
Prinsip dasar dari pengobatan arthritis reumatoid adalah mengistirahatkan sendi yang terkena, karena dengan pemakaian sendi yang terkena akan memperburuk peradangan. Obat-obat utama yang digunakan untuk artritis reumatoid adalah obat anti peradangan non-steroid, obat slow-acting, kortikosteroid dan obat imunosupresif.
Prognosis dari penderita dalam skenario bisa dikatakan buruk. Hal tersebut karena artritis reumatoid yang menyerangnya ia biarkan hingga dua tahun. Dengan waktu yang lama tersebut, maka kerusakan sendi dan deformitas menjadi semakin parah.



BAB IV
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun yang proses patologi utamanya terjadi di cairan sinovial.
Penderita Artritis Reumatoid seringkali datang dengan keluhan artritis yang nyata dan tanda-tanda keradangan sistemik. Baisanya gejala timbul perlahan-lahan seperti lelah, demam, hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian, namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang menetap.
Meskipun prognose untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan tetapi kesembuhan penyakit sukar tercapai.
Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau sedapat mungkin berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi adalah meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan/atau memeperbaiki deformaitas.







DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi 11. Alih bahasa : Irawati, et al. Jakarta : EGC
Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Dalam: Textbook of Rheumatology.Philadhelpia:Saunders Co
Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI. Jakarta : Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1
Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi 7. Jakarta : EGC
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius
Nasution..1996.Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit bag 2. Jakarta: EGC.
Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.