Jumat, 28 Oktober 2011

Demam Thyfoid


Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik dikarakterisasikan oleh demam dan nyeri abdomen oleh karena diseminasi S. typhi atau S. paratyphi. Dinamai demam tifoid karena kemiripan gejala klinisnya dengan tifus.
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dan survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35.89% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1
Insiders demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi.2,3 Salmonela adalah bakteri gram negatif, termasuk ke dalam famili Enterobactericeae.
Seperti golongan Enterobactericeae yang lain, salmonela memiliki tiga antigen utama: antigen O [lipopolisakarida (LPS)], antigen Vi (surface antigen; S. typhi dan S. paratyphi C), dan antigen H (flagel). Secara umum, pada pemeriksaan laboratorium, Salmonella dibagi menjadi serogrup A, B, C1, C2, D, dan E. Pemeriksaan biokimia dan serologi tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi serotipe-serotipe ini.
S. typhi merupakan patogen enterik yang sangat virulen dan invasif yang menyerang manusia. Sumber penularan terutama melalui pencemaran makanan atau minuman oleh bakteri tersebut yang dikeluarkan melalui tinja penderita demam tifoid.5
Patogenesis & Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung. Sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan, selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Akibat difagositosisnya Salmonela, bakteri ini menjadi kebal terhadap respons imun PMN, komplemen, dan juga antibodi. Salmonela sudah berevolusi sedemikian rupa sehingga mampu menghindari/menunda proses ‘pembunuhan’ oleh makrofag. Hal ini dimungkinkan karena saat difagositosis, bakteri membentuk suatu “spacious phagosome” dan alterasi regulasi ~200 protein bakterial.
Sistem regulator yang paling terkenal adalah PhoP/PhoQ, duet komponen regulon yang mendeteksi perubahan lokasi dan ekspresi protein bakterial. Alterasi yang dimaksud adalah modifikasi LPS dan sintesis outer-membrane proteins; perubahan tersebut berkontribusi dalam remodeling permukaan membran bakteri sehingga mereka menjadi resisten terhadap aktivitas antimikroba dan signaling host cell. PhoP/PhoQ juga memediasi sintesis transporter kationik divalent yang men-scavenge magnesium. Dengan mekanisme sekresi second type III, Salmonela bisa secara langsung mentranslokasi protein bakterial ke dalam makrofag, fenomena yang dipercayai sebagai mekanisme survival bakteri di dalam sel fagosit.
Dengan ini, Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk, ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-¬tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk ke kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kernbali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.
Didalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di receptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu IoC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. tyhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin 0 (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin 0, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin 0 masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap Iebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1). Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi , 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang, sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat.
ELISA
Diagnosis demam tifus bergantung pada isolasi Salmonella enterica subsp. enterica serotype Typhi dari sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe typhi, yakni antigen O (LPS/ lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal). Pada penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998, dimana saat itu Tifus menjadi suatu endemi, diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi. Dan lagi terjadi peningkatan titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas tersebut. Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam tifus (Widal TO dan TH, anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick, dan IDeaL TUBEX).
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi basil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut :
1). Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan basil mungkin negatif;
2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit basil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3). Riwayat vaksinasi. Vaksmasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif;
4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
Tatalaksana Demam Tifoid
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan domain tifoid, yaitu:
Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil. dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan letap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan Terapi Penunjang
Diet merpakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
Pemberian Antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol (pilihan utama), tiamfenikol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, golongan florokuinon, dan dapat diberikan kombinasi obat antimikroba, dan kortikosteroid bila diperlukan.
Obat
Mekanisme kerja
Dosis
Keterangan
Kloramfenikol
Berikatan dengan unit 50S bakteri
Oral
4 x 500 mg sampai 7 hari bebas demam
Perbaikan dicapai dalam interval 3-7 hari. Tidak digunakan pada pasien anak.
Tiamfenikol
Berikatan dengan unit 50S ribosom bakteri
Oral
4 x 500 mg sampai 7 hari bebas demam
Perbaikan dicapai dalam 4-6 hari. Efek samping lebih ringan dari kloramfenikol. Tidak diberikan pada ibu hamil khususnya trimester 1
Ampisilin
Menghambat pembentukan dinding sel bakteri
Oral
75-150 mg/kg BB, terbagi 3 kali sehari, berikan selama 10-14 hari
Perbaikan dicapai dalam 3-5 hari
TMP-SMZ
Menghambat pembentukan asam dihidrofolat
2 x 2 tablet/hari (400 mg SMZ- 80 mg TMP) selama 2 minggu
Perbaikan dalam rentang yang sama dengan kloramfenikol
Ceftriaxone
Menghambat pembentukan dinding sel bakteri
3-4 gram dalam

Ciprofloxacin
Menghambat sintesis DNA bakterial
2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Teruskan pengobatan hingga 2-4 hari setelah gejala menghilang
Corticosteroid
Mengurangi inflamasi
Dexamethasone dosis tinggi
Pada kasus tifoid toxic, sepsis, peritonitis
Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :
  • Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
  • Komplikasi ekstra-intestinal:
  • Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
  • Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis.
  • Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritic.
  • Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
  • komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
  • komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.
  • komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.
Pencegahan
Vaksinasi
Vaksin diindikasikan bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Vaccine Name
How given
Number of doses necessary
Time between doses
Total time needed to set aside for vaccination
Minimum age for vaccination
Booster needed every…
Ty21a (Vivotif Berna, Swiss Serum and Vaccine Institute)
1 capsule
by mouth
4
2 days
2 weeks
6 years
5 years
ViCPS (Typhim Vi, Pasteur Merieux)
Injection
1
N/A
2 weeks
2 years
2 years
Referensi:
  1. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI; 2006. h. 1774-6.
  2. Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 15th ed. USA: McGraw Hill; 2001.p. 970-3.
  3. Brusch JL. Typhoid fever. Diunduh dari http://www.emedicine.com/MED/topic2331.htm pada tanggal 3 April 2008 pukul 09.20 WIB.
  4. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN, Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Jawetz, melnick & adelberg mikrobiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC; 1996. h. 243-7.
  5. Rafli A, Hidayati AD, Abdaly MS, Ekaputri K, Widiyanti R, Satrio S, et al. Aspek Molekular demam tifoid. Modul Biologi Molekular. FKUI: 2006.
  6. Lesser CF & Miller SI. Salmonellosis. Harrison’s Principle of Internal Medicine, 16th ed. USA: McGraw Hill Inc. 2005. p926-929.

Rabu, 28 September 2011

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Human Immunodeficiency Virus (HIV)
II.1. Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus. 5,6
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse transkriptase.6
Pada selubung (envelope) terdapat glikoprotein permukaan, terdiri dari dua protein yang mengkordinasi masuknya HIV kedalam sel. Glikoprotein yang lebih besar dinamakan gp 120, adalah komponen yang menspesifikasi sel yang diinfeksi. gp 120 ini terutama akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Glikoprotein yang besar ini adalah target utama dari respon imun terhadap berbagai sel yang terinfeksi. Glikoprotein yang lebih kecil, dinamai gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium.8
Gambar 1.1 Genome dan protein HIV15
II.2. Patofisiologi
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4 yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya.5
Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase. Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi suatu DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai mekanisme proofreading (mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini. Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi yang berkelanjutan terhadap pengobatan.7
Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse. Akibat aktivitas enzim ini, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan seuntai DNA yang tadi telah terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke dalam DNA sel penjamu dangan bantuan enzim integrase, dan DNA ini disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi sel penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu DNA ini untuk keluar dari DNA inang dan menjadi aktif, serta selanjutnya terjadi replikasi dalam kecepatan yang tinggi. Keadaan laten ini dapat berlangsung selama 1 sampai 12 tahun dari infeksi awal HIV dan dalam keadaan ini pasien tidak mempunyai gejala (asimptomatik). Pada stadium laten ini, HIV dan respon imun anti HIV dalam tubuh pasien dalam keadaan steady state.2,5
Infeksi akut dengan cepat meningkatkan viral load dan menyebabkan viremia yang ringan sampai moderat. Walaupun viral load cenderung menurun dengan cepat setelah infeksi akut pada orang dewasa, viral load menurun lebih lambat pada anak-anak yang terinfeksi secara vertical (2-3 bulan setelah terinfeksi, jumlah viral load dalam tubuh mereka menetap sekitar 750.000/mL) dan dapat tidak mencapai level steady state sampai mereka berumur 4-5 tahun. Hal ini disebabkan karena imaturitas sistem imun mereka. Walaupun bayi-bayi mempunyai sejumlah antigen presenting cell dan sel-sel efektor lebih banyak daripada orang dewasa, produksi sitokin, proliferasi dan sitotoksisitas sel-sel tersebut pada mereka jauh lebih berkurang karena infeksi HIV ini.4,8
Gambar 2. Siklus Replikasi HIV16
Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas mengakibatkan perubahan pada fungsi dan penghancuran sel T-CD4, hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi dan penurunan jumlah sel limfosit T-CD4 ini diduga melalui proses pengaruh sitopatik langsung HIV (single cell killing), pembentukkan sinsitium, respon imun spesifik, limfosit T sitolitik yang spesifik untuk HIV, mekanisme autoimun dan anergi.
Dengan menurunnya jumlah dan fungsi sel T-CD4 yang merupakan ‘orchestrator’ dari suatu sistem imun, maka individu yang terinfeksi HIV akan lebih berisiko untuk terkena infeksi opportunistik, infeksi sistemik berat, penyakit sistem organ yang kemudian berakhir dengan kematian.5
II.3. Cara Penularan
Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, secara horizontal maupun vertikal (dari ibu ke anak).
1. Melalui hubungan seksual
Baik secara vaginal, oral ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara yang umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia. Lebih mudah terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonore. Resiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vaginal dan resiko juga lebih besar pada yang reseptive daripada yang insertie. Diketahui juga epitel silindris pada mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis ternyata mempunyai reseptor CD4 yang merupakan target utama HIV.9
2. Transmisi horisontal (kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum suntik):
a. Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, resikonya sekitar 0,5-1% dan telah terdapat 5-10% dari total kasus sedunia. 9
b. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik pada para pecandu narkotik suntik. Resikonya sangat tinggi sampai lebih dari 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia.9
c. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan. Resikonya sekitar kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia.9
Kurang lebih 10% penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal.8
3. Infeksi HIV secara vertikal terjadi pada satu dari tiga periode berikut :
1. Intra uterin : Terjadi sebelum kelahiran atau pada masa awal kehamilan sampai trisemester kedua, yang mencakup kira-kira 30-50% dari penularan secara vertikal. Janin dapat terinfeksi melalui transmisi virus lewat plasenta dan melewati selaput amnion, khususnya bila selaput amnion mengalami peradangan atau infeksi.8
2. Intra partum : Transmisi vertikal paling sering terjadi selama persalinan, kurang lebih 50-60%, dan banyak faktor-faktor mempengaruhi resiko untuk terinfeksi pada periode ini. Secara umum, semakin lama dan semakin banyak jumlah kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi serviks dan vagina, maka semakin besar resiko penularan. Bayi prematur dan BBLR mempunyai resiko terinfeksi lebih tinggi selama persalinan karena barier kulitnya yang lebih tipis dan pertahanan imunologis pada mereka lebih lemah.8
3. Post partum : Bayi baru lahir terpajan oleh cairan ibu yang terinfeksi dan bayi dapat tertular melalui pemberian air susu ibu yang terinfeksi HIV kira-kira 7-22%.
Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan, persalinan dan menyusui.8
II.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada beberapa macam klasifikasi. Yang paling umum dipakai adalah klasifikasi yang dibuat oleh Center for Disease Control (CDC), USA,10 sebagai berikut:
  • Stadium awal infeksi HIV
  • Stadium tanpa gejala
  • Stadium ARC (AIDS related compleks)
  • Stadium AIDS
  • Stadium gangguan susunan saraf pusat
Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya gejala pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Dari penelitian pada sebagian besar kasus dikatakan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun, dan bervariasi sangat lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa walaupun belum ada gejala, tetapi yang bersangkutan telah dapat menjadi sumber penularan.
  • Stadium awal infeksi
Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, mialgia, pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran menurun.10 Sindrom ini akan menghilang dalam beberapa minggu. Dalam waktu 3-6 bulan kemudian tes serologi baru akan positif, karena telah terbentuk antibodi. Masa 3-6 bulan ini disebut window periode, dimana penderita dapat menularkan naamun secara laboratorium hasil tes HIV-nya negatif.10
  • Stadium tanpa gejala
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya bisa bertahun-tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-pelan terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya. Walaupun tidak ada gejala, kita tetap dapat mengisolasi virus dari darah pasien dan ini berarti bahwa selama fase ini pasien juga infeksius. Tidak diketahui secara pasti apa yang terjadi pada HIV pada fase ini. Mungkin terjadi replikasi lambat pada sel-sel tertentu dan laten pada sel-sel lainnya. Tetapi jelas bahwa aktivitas HIV terjadi dan ini dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu. Mungkin sampai jumlah virus tertentu tubuh masih dapat mengantisipasi sistem imun. 9,10
  • Stadium AIDS related compleks
Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi 2 atau lebih gejala klinis yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :
  • Berat badan turun lebih dari 10%
  • Demam lebih dari 380C
  • Keringat malam hari tanpa sebab yang jelas
  • Diare kronis tanpa sebab yang jelas
  • Rasa lelah berkepanjangan
  • Herpes zoster dan kandidiasis mulut
  • Pembesaran kelenjar limfe, anemia, leucopenia, limfopenia, trombositopenia
  • Ditemukan antigen HIV atau antibody terhadap HIV.9,10
· Stadium AIDS

PRINSIP PEMBERIAN NUTRISI DALAM PEMBEDAHAN

BAB I
PENDAHULUAN
Nutrisi memiliki peran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dengan persiapan pra operasi dan pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur utama bedah umum dan tindakan suportif pada pasien yang luka parah. Secara umum, ketika dokter memutuskan kepada pasiennya untuk menjalani prosedur operasi besar, nutrisi suportif telah menunjukkan pengurangan komplikasi luka utama seperti luka terbuka dan kebocoran anastomosis luka.(5)
Pasien yang menjalani operasi menghadapi tantangan secara metabolik dan fisiologi yang dapat membahayakan status gizi. Gejala pascaoperasi seperti mual, muntah, nyeri, dan anoreksia dapat terjadi pada pasien, hal ini juga bahkan dapat terjadi pada pasien yang menjalani operasi kecil, padahal katabolisme, infeksi, dan proses penyembuhan luka menjadi faktor peyulit pada pasien setelah operasi besar. Hal-hal ini menjadi masalah yang jauh lebih besar pada pasien operasi dengan gizi yang kurang. (9)
Deplesi nutrisi telah ditunjukkan menjadi penentu utama dari perkembangan komplikasi pasca operasi. Pasien bedah gastrointestinal mempunyai resiko terjadi deplesi nutrisi dari asupan gizi yang tidak memadai, stres bedah dan peningkatan tingkat metabolisme pascaoperasi. Banyak pasien tidak dapat bertahan terhadap penyakitnya tanpa bantuan nutrisi suportif yang khusus. Seperti pada pasien dengan kehilangan usus total atau hampir total yang mungkin disebabkan infark atau reseksi multipel, pasien malnutrisi dengan penyakit inflamasi mukosa usus kronis yang mempengaruhi penyerapan, atau pasien dengan fistula yang menghalangi pencernaan nutrisi secara oral, dan lain sebagainya. (5),(6)
Kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi dan integritas dari pembuatan anastomosis baru menyebabkan terjadinya kelaparan, sehingga pemberian nutrisi menggunakan cairan intravena sampai terjadinya kentut. Namun, sejak saat itu telah menunjukkan bahwa pemberian makanan enteral secepatnya pasca operasi ialah efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Pemberian makanan secara enteral juga berhubungan dengan manfaat klinis tertentu seperti menurunnya insiden komplikasi infeksi pascaoperasi dan peningkatan respon penyembuhan luka. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan hubungan antara nutrisi enteral dengan terjadinya modulasi fungsi usus.(6)
Pasien dengan kekurangan gizi pra operasi memiliki risiko yang jauh lebih tinggi terjadinya komplikasi pasca operasi dan kematian daripada pasien yang memiliki gizi baik sebelum operasi. Status gizi buruk dapat membahayakan fungsi sistem organ, termasuk jantung, paru-paru, ginjal, dan saluran gastrointestinal (GIT). Fungsi kekebalan tubuh dan kekuatan otot juga dapat berpengaruh, pasien seperti ini lebih rentan terhadap terjadinya komplikasi infeksi dan biasanya memerlukan untuk reintubasi pascaoperasi. Penyembuhan luka yang tertunda, seperti tertundanya kemajuan dalam mobilitas pasien, sehingga dapat memperpanjang pemulihan pasien operasi. Semua faktor ini dapat berkontribusi terjadinya lamanya perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Seperti yang dijelaskan oleh Meguid dan Laviano, setiap dokter bedah secara intuitif mengetahui bahwa operasi pada pasien dengan kurang gizi dapat menjadi menyedihkan (rueful) dan mahal. (8),(9)
Bahkan pasien dengan gizi yang cukup saja dapat mengalami hasil yang kurang baik jika gizi pasca operasi tertunda secara signifikan. Kurangnya gizi untuk 10-14 hari, khususnya selama periode meningkatnya kebutuhan (demand) metabolik dengan pemulihan pasca operasi, dapat mengakibatkan komplikasi dan tingkat kematian yang lebih buruk daripada mereka yang menerima nutrisi suportif. Sejalan dengan ini, pedoman yang disediakan oleh American Society for Parenteral dan Nutrisi Enteral (ASPEN) merekomendasikan bahwa nutrisi suportif diberikan pada pasien tidak mampu mengambil nutrisi oral yang cukup selama 7-14 hari. organisasi medis lainnya juga telah membuat rekomendasi yang sama.(9)
Dasar dari nutrisi suportif merupakan pemberian nutrisi pada pasien yang tidak dapat melakukan intake secara per oral. Nutrisi suportif diberikan baik secara intravena menggunakan kateter vena dengan infus formula yang mengandung makronutrisi dan mikronutrisi maupun secara enteral menggunakan tube yang ditempatkan pada perut atau usus halus seperti pada pascaoperasi bypass atonia gaster atau ileus usus halus dalam periode praoperatif maupun postoperatif. Meskipun tekhnik pemberian makanan intragastik telah diketahui selama ratusan tahun, namun nutrisi parenteral terbilang relatif baru, memiliki dasar tekhnik yang tinggi, dan maju pesat sejak tahun 1970-an. Tujuan dari nutrisi suportif ialah untuk mencegah perburukan status nutrisi, untuk memperbaiki keadaan klinis, dan sebagai terapi adjuntive, yang mungkin terjadi pada pasien malnutrisi. (5)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut Soekirman, status gizi berarti sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu. (7)
Menurut I Dewa Nyoman S, status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tetentu.(2)
Status gizi merupakan suatu rangkaian interval dari pasien dengan nutrisi yang baik sampai pasien kakexia. Pasien malnutrisi yang parah akan mudah menjadikan terjadinya luka terbuka, infeksi, kebocoran anastomosis luka, dan komplikasi lainnya. Beberapa tekhnik dari pengukuran status gizi dapat mengestimasi status pasien dari spektrum gizi ini.(5)
Kebanyakan penderita yang akan dibedah tidak membutuhkan perhatian khusus untuk masalah gizi. Pada umumnya, mereka dapat berpuasa untuk waktu tertentu sesuai dengan penyakit dan pembedahannya. Akan tetapi, tidak jarang juga penderita datang dalam keadaan gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita penyakit saluran cerna, keganasan, infeksi kronik, dan trauma berat. (8)
2.2 Pengukuran Status Gizi
Pengukuran gizi telah dijelaskan secara komprehensif untuk menentukan status gizi menggunakan pendekatan riwayat medis, nutrisi, dan pengobatan; pemeriksaan fisik, pengukuran antropometrik, laboratorium, dan pertimbangan ahli. Pengukuran gizi pasien secara komprehensif meliputi evaluasi riwayat pasien dari pola makan, pantangan makan, perubahan berat badan, dan pengaruh lain yang mempengaruhi intake atau absorpsi nutrisi. Pengukuran tubuh untuk komposisi tubuh, status cairan, dan tanda juga gejala defisiensi nutrisi, tes biokmia, seperti albumin, prealbumin, dan transferin. Analisis komposisi tubuh, kekuatan genggaman, dan hipersensitifitas kulit yang tertunda. Meskipun begitu, banyak dari pemeriksaan ini (seperti albumin dan kekuatan genggaman) tidak praktis digunakan pasca operasi. (10)
Tekhnik skrining yang paling efektif meliputi riwayat dan pemeriksaan fisik yang adekuat dengan identifikasi penurunan berat badan yang tidak disengaja. Korelasi yang kuat muncul antara buruknya tingkat protein dan komplikasi pascaoperasi setelah operasi gastrointestinal. Penurunan berat badan yang tidak disengaja lebih dari 10 % dalam 6 bulan terakhir atau lebih dari 20 % dan adanya kebutuhan metabolik yang meningkat mengindikasikan adanya resiko gangguan gizi. 2 (dua) perhitungan yang biasa digunakan ialah: (5)
Gejala lainnya seperti nyeri perut, diare kronis, anoreksia, atau letargi biasanya menyertai perubahan klinis ini dalam berat badan. Pengukuran antropometri dengan berat dan tinggi badan sudah cukup adekuat. Ketebalan kulit untuk menentukan massa lemak, pengumpulan urin untuk menilai indeks kreatinin-tinggi badan, dan tekhnik spesifik lainnya tidak lagi digunakan secara umum. Pengukuran dari status immunologis dengan hitung limfosit perifer total atau transformasi limfosit tidak spesifik untuk defisiensi gizi dan dapat juga ditemukan pada keadaan lain seperti infeksi yang parah. (5)
2.2.1 Wawancara Pasien, Keluarga, Atau Perawat Pasien
Setelah memeriksa rekam medis pasien, wawancara singkat dengan keluarga dekat pasien mengenai riwayat diet pasien akan sangat berharga. Sebagai contoh, kecenderungan kehilangan berat badan yang tidak disengaja harus lebih dahulu dicatat, contohnya pada pasien yang obes, merupakan petunjuk yang penting intake nutrisi yang tidak optimal dalam waktu yang lama. Dalam kasus lain, pasien yang kurus yang kelihatan malnutrisi namun memang memiliki berat badan kurang dalam waktu yang lama. Praktisi kesehatan juga perlu menanyakan pantangan dalam diet, dengan mengetahui makanan yang dipantangnya maka akan dapat mengarah ke arah defisiensi beberapa nutrisi. (11)
2.2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat berguna dalam mengkonfirmasi kecurigaan adanya defisiensi gizi. Praktisi kesehatan harus melihat tanda dari kehilangan otot dan lemak, penyembuhan luka yang lama, buruknya integritas kulit, dan tanda lainnya dari defisiensi gizi sebagai data yang objektif dalam menentukan adanya malnutrisi. (11)
2.2.3 Proses Penyakit
Proses penyakit juga harus dipertimbangkan ketika mempertimbangkan pilihan nutrisi suportif untuk pasien-pasien tertentu. Nutrisi suportif baik secara parenteral maupun enteral dapat membuat terjadinya risiko komplikasi yang dapat melebihi nilai manfaatnya pada beberapa pasien. Klinisi harus mengevaluasi beberapa faktor, termasuk keinginan pasien dan prognosis, tingkat keparahan penyakit, waktu durasi yang diantisipasi ketika nutrisi tidak dapat diberikan per oral, risiko yang dapat ditimbulkan dari akses nutrisi suportif dan infus, dan dampak potensial jika tidak diberikan nutrisi. (12)
2.2.4 Malnutrisi
Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun, malnutrisi protein-kalori yang ringan tidak banyak memengaruhi hasil operasi. Berbeda dengan malnutrisi akibat kelaparan, pada penderita bedah terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan malnutrisi. Dua faktor utama adalah kurangnya asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat langsung tampak pada penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot.(8),(9)
Asupan nutrisi yang faali adalah melalui makanan dan minuman. Ini dapat berupa diet yang dapat diberikan secara oral, melalui sonde hidung, atau secara intravena.(8)
Diet juga dibedakan atas diet biasa dan diet khusus, misalnya pada penderita diabetes. Penderita kolelitiasis juga memerlukan diet khusus yang kurang mengandung lemak. Contoh lain adalah diet tinggi serat untuk penderita obstipasi dan diet rendah kalori untuk penderita obesitas. Diet khusus kalori dan protein telur tinggi dibutuhkan oleh penderita malnutrisi kronik yang mampu makan secara normal. (8)
Makanan biasa yang dicairkan diberikan kepada penderita dengan obstruksi esofagus atau pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti pada patah tulang rahang. (8)
Kadang penderita begitu lemah dan mengalami anoreksia, atau terdapat gangguan mekanik dan obstruksi saluran cerna yang mengakibatkan proses faali itu tak dapat berlangsung. Fungsi saluran cerna bisa sangat terganggu sehingga proses pencernaan dan penyerapan sedemikian terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Keadaan ini disebut kegagalan intestinal. Keadaan ini terdapat pada sindrom usus pendek akibat reseksi sebagian besar ileum dan yeyunum, fistel usus, gangguan motilitas usus misalnya pada paralisis usus dan pada peradangan usus yang luas seperti pada penyakit Crohn dan kolitis ulserosa. Pada kasus khusus dan sulit ini diperlukan tambahan nutrisi secara enteral atau parenteral. (8)
2.3 Perubahan Pada Pasien Bedah
2.3.1 Perubahan Fisiologis Pada Pasien Bedah
Telah dibuktikan bahwa permeabiltas usus meningkat 2 (dua) sampai 4 (empat) kali pada periode segera pascaoperasi, dan normalnya berlangsung selama 5 hari. Akhir-akhir ini kurangnya nutrisi berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dan menurunnya tinggi dari villus. Penemuan ini mengarah ke investigasi dari penatalaksanaan yang bertujuan menjaga barrier mukosa yang intak. Meningkatnya permeabilitas usus mengindikasikan kegagalan dari fungsi barrier usus untuk mengeluarkan bakteri dan toksin endogen. Hal ini menjadi salah satu agen penyebab dalam systemic inflammatory response syndrome, sepsis dan gagal organ multipel. Meskipun, terdapat kegagalan untuk menunjukan bahwa terdapat korelasi antara rusaknya fungsi barrier usus dan komplikasi sepsis setelah kegagalan gastrointestinal bagian atas.(6)
2.3.2 Perubahan Metabolik Pada Pasien Bedah
Tubuh memproduksi respon khas terhadap luka karena trauma, operasi elektif, atau inflamasi. Semakin ringan cedera, responnya akan semakin tumpul dan cepat hilang, sedangkan semakin besar luka yang didapat, maka respon yang muncul akan semakin lama dan parah khususnya jika komplikasinya muncul. Respon tersebut akan meningkatkan tingkat metabolisme, sekresi glukokortikoid dan katekolamin, produksi sitokin proinflamasi, dan retensi cairan. Retensi cairan dan output urin yang rendah disebabkan bertambahnya sekresi vasopresin dan mineralokortikoid sebagaimana meningkatnya edema usus disebabkan meningkatnya permeabilitas. Pemulihan pascaoperasi tanpa komplikasi mempunyai hasil diuresis cairan ini pada hari ketiga dan keempat pascaoperasi sejalan dengan menurunnya respon endokrin. Hiperglikemia terjadi disebabkan oleh supresi katekolamin dari sekresi insulin oleh pankreas (efek sentral) dan inhibisi uptake glukosa oleh jaringan perifer dalam responnya terhadap kadar sirkulasi insulin (efek perifer). (5),(6)
Setiap respon tersebut memiliki manfaat yang khusus seperti retensi garam dan air yaitu untuk menjaga volume darah, meningkatnya produksi glukosa hepar yaitu untuk menyediakan "tenaga" yang cukup, dan mobilisasi dari asam amino untuk glukoneogenesis, produksi protein hepar, proliferasi fibroblas, dan regulasi imunologi. Perubahan kecepatan katabolisme protein, khususnya pretein otot. Katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar. Kortisol merangsang glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis protein dan efek potensial katekolamin pada hepar. (5)
Hormon lain disekresi sebagai respon terhadap luka. Arginine vasopresin (yang awalnya diketahui sebagai antidiuretik hormon (ADH)), meningkatkan absorpsi air dan stimulasi glikogenesis hepar dan glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkatkan glikolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis. Insulin like growth factor-I (IGF-I) dan Growth Hormone (GH) menurun, dan hal ini menginduksi ketidakseimbangan dalam regulasi hormon mengarah penurunan hormon anabolik dan percepatan kehilangan jaringan. (5)
Respon stress berbeda dengan kelaparan tanpa luka. Kelaparan mengurangi pengeluaran energi dan meningkatkan lipogenesis dan produksi keton bodies. Namun tidak berkembang menjadi respon protein fase akut. Stress meningkatkan pengeluaran energi, mempercepat produksi protein hepar, merangsang respon protein fase akut, dan mempercepat proteolisis tanpa produksi keton bodies. Asam lemak, keton bodies, dan gliserol merupakan substrat energi utama dalam kelaparan dan terjadi pada 95% kebutuhan awal. Dalam keadaan stres, asam amino merupakan sumber yang penting dari produksi glukosa melalui glukoneogenesis hepar. Protein menyediakan 15-20 % energi, padahal lemak menyediakan energi sampai 80-85%. (5)
Kondisi hipermetabolik yang lebih lama dapat berhubungan dengan keseimbangan nitrogen yang negatif yang muncul kemudian. Tingkat metabolik biasanya meningkat sekitar 10% pasca operasi. Jika dukungan gizi yang memadai tidak ada pada tahap ini akan terjadi proteolisis dari otot rangka yang berlebihan dan terjadi depresi metabolisme yang lebih lanjut. Peningkatan pengeluaran energi dikaitkan dengan berbagai tanggapan hormonal yang terjadi sebagai akibat dari trauma bedah. Sitokin, termasuk Tumor Necrotizing Factor (TNF) dan interleukin (IL-1 dan IL-6) memiliki peran penting dalam menentukan perubahan metabolik jangka panjang. Perubahan ini tidak relevan secara klinis, kecuali terjadinya sepsis pasca bedah atau trauma setelah operasi tetapi dalam hubungannya dengan kelaparan preoperatif sering mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif secara signifikan. (6)
2.3.3 Peran Usus Dalam Pertahanan Tubuh
Sebagian besar konsensus menyatakan bahwa nutrisi harus diberikan melalui saluran gastrointestinal daripada parenteral bila memungkinkan. Konsensus ini dihasilkan dari berbagai percobaan klinis prospektif acak pada pasien trauma dan pasien bedah umum. Hasil eksperimental yang signifikan telah mendokumentasikan bahwa terjadi perubahan dalam histologi pencernaan serta imunitas mukosa ketika saluran pencernaan tidak diberikan makanan. (5)
Perlindungan sistemik dan intraperitoneal juga dipengaruhi oleh rute pemberian gizi. Nutrisi enteral akan mengurangi kematian bakteri intraperitoneal dibandingkan dengan hewan yang diberi makan diet parenteral isonitrogen dan isokalorik. Studi-studi awal telah dikonfirmasi oleh Lin dan rekan-rekannya, yang menunjukkan bahwa makanan enteral pada tikus menghasilkan peningkatan TNF intraperitoneal dan inhibisi proliferasi bakteri. Hal ini menghasilkan respon sistemik TNF yang tumpul terhadap sepsis intraperitoneal. Temuan ini telah dikonfirmasi oleh Fong dan rekan pada subyek manusia. Ketika nutrisi parenteral diberikan secara infus maka sebenarnya diberikan pula endotoksin, respon TNF ditingkatkan pada individu yang diberikan nutrisi secara parenteral dibandingkan dengan mereka yang makan secara enteral. Sehingga pada beberapa aspek, rute pemberian nutrisi secara enteral lebih tetap disukai.(5)
2.4 Kebutuhan Nutrisi
Tujuan utama dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan energi untuk proses metabolisme, pemeliharaan suhu basal, dan perbaikan jaringan. Kegagalan untuk menyediakan sumber energi nonprotein yang memadai akan menyebabkan penggunaan cadangan jaringan tubuh. Kebutuhan untuk energi dapat diukur dengan kalorimetri secara langsung atau diperkirakan dari ekskresi nitrogen urin, yang sebanding dengan pengeluaran energi selama istirahat. Namun, penggunaan kalorimetri secara tidak langsung, terutama pada pasien yang sakit kritis, sering mengarah kepada perhitungan yang terlalu tinggi dari kebutuhan kalori. (1)
Untuk menentukan kebutuhan kalori harus diketahui metabolisme basal, sedangkan untuk menentukan basal energy expenditure (BEE) ini digunakan suatu rumus Harris-Benedict. (1),(5),(8)
Rumus : (1),(5),(8)
BEE (Laki-laki) = 66,47 + 13,75 (Berat badan/Kg) + 5,0 (Tinggi Badan/Cm) - 6,76 (Usia/tahun) Kkal/hari
BEE (Perempuan) = 655,1 + 9,56 (Berat badan/Kg) + 1,85 (Tinggi badan/Cm) - 4,68 (Usia/tahun) Kkal/hari
Persamaan ini, disesuaikan dengan jenis stres bedah, yang cocok untuk memperkirakan kebutuhan energi pada lebih dari 80% pasien rawat inap. Telah terbukti bahwa penyediaan 30 kkal / kg per hari akan cukup memenuhi kebutuhan energi pada sebagian besar pasien pascaoperasi, dengan risiko rendah kelebihan makan. Pada trauma atau sepsis, kebutuhan substrat energi meningkat, memerlukan kalori yang lebih besar melebihi pengeluaran energi nonprotein yang dihitung (Tabel 2.1). Kebutuhan tambahan kalori nonprotein ini diberikan setelah luka biasanya 1,2-2,0 kali lebih besar daripada resting energy expenditure (REE) yang dihitung, tergantung pada jenis cedera.(1)
Untuk mengoreksi katabolisme yang tinggi seperti yang terjadi pascatrauma, pascabedah, pada infeksi atau sepsis, harus ditambahkan 50% atau lebih dari BEE, tetapi jangan melebihi 150% BEE. (8)
Kondisi
Kkal/kg per day
Perhitungan di atas BEE
Gram Protein/kg per day
Kalori non protein: Nitrogen
Normal/moderate malnutrition
25–30
1.1
1
150:1
Mild stress
25–30
1.2
1.2
150:1
Top of Form
Moderate stress
30
1.4
1.5
120:1
Severe stress
30–35
1.6
2
90–120:1
Burns
35–40
2
2.5
90–100:1
Bottom of Form
Tabel 2.1 Penyesuaian kalori di atas Pengeluaran Energi Basal (BEE) pada kondisi hipermetabolik. (1)
Tujuan kedua dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan substrat untuk sintesis protein. Kalori nonprotein yang sesuai: rasio nitrogen 150:1 (misalnya, 1 g N = 6,25 g protein), harus dipertahankan, yang merupakan kebutuhan kalori basal yang diberikan untuk mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Sekarang terdapat bukti yang lebih besar yang menunjukkan bahwa asupan protein meningkat, dan kalori lebih rendah: nitrogen rasio 80:1 untuk 100:1, yang mungkin memiliki manfaat penyembuhan pada pasien dengan hipermetabolik dan sakit kritis. Dengan tidak adanya disfungsi ginjal atau gangguan hati yang berat dapat dugunakan rejimen gizi standar, sekitar 0,25-0,35 g nitrogen per kilogram berat badan harus disediakan setiap hari. (1)
Kebutuhan kalori harus dirinci. Karbohidrat sebagai sumber kalori diberikan tidak lebih dari 6 g/kgBB/hari, bila berlebihan, terjadi hipermetabolisme. Oleh karena pembatasan penggunaan karbohidrat seperti di atas, lemak digunakan juga sebagai sumber kalori, sekaligus sebagai sumber asam lemak esensial. (8)
Penderita dengan katabolisme berat, seperti trauma ganda dan luka bakar, memerlukan nutrisi tinggi protein dan asam amino untuk mengatasi keseimbangan nitrogen yang negatif. Umumnya diperlukan 1,2-1,5 g protein/kgBB/hari. (8)
Elektrolit dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan asam basa, juga untuk metabolisme sel. Unsur Na+, K+, Mg+, Ca+, P+, Cl- sama pentingnya seperti protein dan kalori dalam proses penggantian sel yang rusak. Vitamin dan unsur runut {trace element) juga esensial untuk proses metabolisme. Dosis tinggi vitamin tertentu, seperti vitamin C atau vitamin E, memainkan peranan penting dalam pertahanan tubuh sebagai antioksidan. Konsentrasi plasma vitamin C dan E telah ditunjukkan dapat mengurangi pasien sakit berat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dibandingkan dengan sukarelawan yang sehat. (5),(8)
Kebutuhan nutrisi dlperkirakan atas dasar kondisi klinis pasien. Penentuan status metabolik yang lebih tepat dapat didasarkan pada keselmbangan nitrogen. (8)
2.5 Kelebihan Pemberian Nutrisi (Overfeeding)
Kelebihan memberikan nutrisi biasanya disebabkan oleh kelebihan perhitungan kebutuhan kalori yang terlalu tinggi, seperti yang terjadi ketika berat badan aktual digunakan untuk menghitung BEE dalam populasi pasien seperti pasien yang sakit kritis dengan cairan overload yang signifikan dan gemuk. Kalorimetri langsung dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan energi, tetapi sering melebihi BEE dari 10% hingga 15% pada pasien stres, terutama jika pasien sedang menggunakan ventilator. Dalam hal ini, berat kering (dry weight) yang diperkirakan harus diperoleh dari anggota keluarga atau anamnesis sebelum cedera. Secara klinis, peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan produksi CO2, lemak hati, penekanan fungsi leukosit, dan meningkatkan risiko infeksi semuanya telah didokumentasikan dengan adanya kelebihan pemberian makan (overfeeding).(1)
2.6 Rute Pemberian Nutrisi Suportif
2.6.1 Nutrisi Enteral
Nutrisi enteral memberi hasil lebih baik karena prosesnya berlangsung faali. Nutrisi enteral lebih disukai daripada nutrisi parenteral atas dasar kurangnya biaya yang harus dikeluarkan dan risiko yang terdapat jika diberikan secara intravena. Pemberian nutrisi secara enteral telah menghasilkan beberapa manfaat klinis yang spesifik, termasuk mengurangi kejadian komplikasi infeksi pasca operasi dan peningkatan respon penyembuhan luka. Nutrisi enteral dapat memiliki efek menguntungkan lain, termasuk mengubah eksposur antigen dan mempengaruhi oksigenasi dari mukosa usus. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada hal ini untuk menjelaskan apakah nutrisi enteral benar-benar memodulasi fungsi usus atau apakah indikasi pemberian gizi enteral tergantung oleh bahwa pasien telah memiliki fungsi organ tubuh yang sehat kembali. (1),(6),(8)
Pengobatan konvensional setelah reseksi usus biasanya diperlukan puasa dengan pemberian cairan intravena sampai terjadinya flatus, terutama karena kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi. Ini didasarkan pada asumsi bahwa makanan per oral tidak dapat ditoleransi pada ileus dan integritas dari anastomosis yang baru dibangun dapat mempengaruhinya juga. Namun demikian, motilitas usus kecil pulih 6-8 jam setelah trauma bedah dan absoprsi tetap ada bahkan ketika tidak adanya gerak peristaltik normal. Sejak itu telah menunjukkan bahwa pemberian makan enteral pascaoperasi pada pasien yang menjalani reseksi gastrointestinal aman dan dapat ditoleransi dengan baik bahkan ketika dimulai dalam waktu 12 jam dari operasi. (6)
Pilihan diet cairan encer untuk diet pertama pascaoperasi berdasarkan teori bahwa cairan encer lebih mudah ditoleransi daripada cairan yang kental atau makanan padat pada periode dini pascaoperasi. Alasan lainnya yaitu cairan encer menyediakan rehidrasi oral dan meminimalkan sekresi pankreas dan gastrointestinal dibandingkan makanan biasa.(4)
Studi prospektif acak untuk pasien dengan status gizi yang baik (albumin 4 g / dL) dan menjalani operasi pencernaan tidak menunjukkan perbedaan dalam hasil dan komplikasi bila diberikan nutrisi enteral dibandingkan dengan pemberian pemeliharaan infus sendiri pada hari-hari pertama setelah operasi. Selanjutnya, pada studi permeabilitas usus pada pasien gizi baik yang menjalani operasi kanker gastrointestinal bagian atas menunjukkan normalisasi permeabilitas usus pada hari kelima pasca operasi. Pada kasus ekstrem yang lain, meta-analisis terbaru pada pasien sakit kritis menunjukkan penurunan 44% komplikasi infeksi pada mereka yang menerima dukungan nutrisi enteral lebih dari mereka yang menerima nutrisi parenteral. Kebanyakan studi prospektif acak untuk trauma abdomen dan toraks yang parah menunjukkan penurunan yang signifikan terjadinya komplikasi infeksi untuk pasien yang diberi nutrisi enteral awal bila dibandingkan dengan mereka yang tidak diberi makan atau menerima nutrisi parenteral. Selain itu, pemberian makanan ke lambung sejak awal setelah cedera kepala tertutup sering dihubungkan dengan makan yang kurang dan defisiensi kalori karena kesulitan mengatasi gastroparesis dan risiko tinggi terjadinya aspirasi. (1)
Rekomendasi nutrisi enteral dini untuk pasien bedah dengan malnutrisi sedang (albumin = 2,9-3,5 g / dL) hanya dapat dilakukan oleh penarikan kesimpulan karena kurangnya data secara langsung berkaitan dengan populasi ini. Untuk pasien ini, pemberian nutrisi enteral diukur berdasarkan pengeluaran energi dari pemulihan pasien, atau jika timbul komplikasi yang dapat mengubah rencana pemulihan (misalnya, kebocoran anastomotic, operasi kembali, sepsis, atau kegagalan untuk disapih saat menggunakan ventilator). Keadaan klinis lain yang memperkuat nutrisi suportif enteral dapat digunakan pada penurunan neurologis permanen, disfungsi orofaringeal, short bowel syndrome, dan pasien transplantasi sumsum tulang. (1)
Diet lengkap berbentuk cairan yang menghasilkan ampas terbatas, biasanya diberikan melalui pipa lambung, duodenum, atau yeyunum. Makanan dan minuman yang sudah separuh dicerna ini digunakan untuk orang yang keadaannya payah karena malnutrisi berat, koma lama, penderita yang sedang menggunakan respirator, dan penderita sakit berat di ruang rawat intensif. (8)
Diet dasar (elemental diet) mulai dipakai di penerbangan ruang angkasa karena hampir tidak menghasilkan ampas. Diet ini terdiri atas campuran asam amino, glukosa, dan trigliserida yang hampir tidak usah dicerna dan langsung diserap. Diet itu juga dapat diberikan melalui pipa lambung halus pada penderita sindrom usus pendek, fistel usus, atau penderita radang usus yang parah seperti kolitis ulserosa atau penyakit Crohn. (8)
Terdapat beberapa teknik yang tersedia untuk akses enteral. Saat ini digunakan metode dan indikasi pilihan dirangkum dalam tabel 2.2. (1)
Pilihan Akses
Komentar
Nasogastric Tube
Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi; trauma nasofaring; sering menyangkut.
Nasoduodenal/nasojejunal
Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi rendah pada jejunum; adanya tantangan dalam menempatkannya (bantuan radiografi sering diperlukan)
Percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG)
Diperlukan keterampilan endoskopi; dapat digunakan untuk dekompresi lambung atau bolus feed; risiko aspirasi; bisa bertahan 12-24 bulan; tingkat komplikasi sedikit lebih tinggi yaitu disebabkan cara penempatan dan kebocoran pada lokasi penempatan.
Operasi gastrostomi
Membutuhkan anestesi umum dan laparotomi kecil; mungkin dapat dibuat penempatan feeding port duodenum jejunum yang diperpanjang ; dapat ditempatkan secara laparoskopik
Gastrostomi fluoroskopi
Penempatan jarum dan garpu T sebagai jangkar ke perut; dapat menyisipkan kateter kecil melalui gastrostomy ke duodenum / jejunum menggunakan fluoroskopi
PEG-jejunal tube
Ditempatkan pada jejunum dengan endoskopi biasa yang tergantung pada keahlian operator; jejunum sering tersangkut retrograde; prosedur dua tahap dengan penempatan PEG, diikuti dengan konversi fluoroskopi dengan tabung pengisi jejunum melalui PEG
Direct percutaneous endoscopic jejunostomy (DPEJ)
Menempatkan melalui endoskopik langsung dengan enteroscope; adanya tantangan dalam penempatan; risiko cedera lebih besar
Operasi Jejunostomi
Umumnya diterapkan saat laparotomi; anestesi umum; penempatan ilaparoskopi biasanya membutuhkan asisten untuk penyisipan kateter; laparoskopi menawarkan visualisasi langsung dari penempatan kateter
Fluoroscopic jejunostomy
Pendekatannya sulit dengan risiko cedera; tidak umum dilakukan
Tabel 2.2 Beberapa pilihan untuk akses pemberian makan secara enteral.(1)
2.6.2 Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral hanya diberikan bila nutrisi enteral tak dapat dilakukan, misalnya karena kelainan gastrointestinal sedemikian berat sehingga fungsi digesti dan absorbsi terganggu.
Nutrisi
Cara Pemberian
Contoh Indikasi
Makanan cair
Diet khusus
Tinggi kalori protein
Lengkap cair
Diet dasar
Parenteral total
Oral
Oral
Oral/Parenteral
Oral/enteral
Oral/Parenteral
Parenteral
Obstruksi esophagus, patah tulang rahang
Diabetes, kolelitiasis, obstipasi, obesitas
Malnutrisi kronis
Malnutrisi, respirasi buatan, koma yang lama, perawatan intensif
Penerbangan ruang angkasa, fistel usus, ileus, morbus Crohn, colitis
Fistel, short bowel syndrome, kolitis
Tabel 2.3 Diet dan nutrisi khusus.(8)
Nutrisi parenteral total terdiri atas nutrisi intravena yang mengandung semua nutrien yang diperlukan. Nutrisi ini dipakai pada penderita dengan ileus lama atau fistel usus. Nutrisi parenteral total ini melalui vena sentral, sebaiknya ujung kateter berada di v.kava superior. Pada ketiga cara khusus di atas, yaitu diet lengkap cair, diet dasar, dan diet parenteral total, diperlukan formula nutrisi khusus sehingga pencernaan dapat berlangsung sempurna. (8)
Sebuah uji klinis besar multicentre tidak menunjukkan penurunan yang signifikan dalam morbiditas atau kematian ketika Total Parenteral Nutrition (TPN) perioperatif diberikan kepada sekelompok pasien bedah yang heterogen. Stratifikasi pasien dalam percobaan ini yang disesuaikan dengan status gizi menunjukkan bahwa pasien dengan gizi buruk ringan tidak memiliki manfaat dari pemberian TPN tetapi lebih banyak terjadi komplikasi infeksi. Hal ini menyebabkan para peneliti menyimpulkan bahwa TPN perioperatif harus dibatasi pada pasien dengan malnutrisi berat tanpa adanya indikasi spesifik lainnya. Studi berikutnya difokuskan terutama pada pasien malnutrisi parah dengan keganasan gastrointestinal. Pasien ini telah ditunjukkan secara klinis mengalami penurunan yang signifikan, baik pada komplikasi infeksi maupun noninfeksi ketika diberi makan secara parenteral selama minimal sepuluh hari sebelum dioperasi. Sebuah meta-analisis terbaru dari 27 percobaan acak terkontrol menyimpulkan bahwa TPN tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik secara keseluruhan pada morbiditas dan mortalitas pasien bedah. Penelitian terbaru yang dianalisa dengan kualitas metodologi yang lebih baik hanya menunjukkan manfaat sedikit daripada studi sebelumnya. Studi tersebut hanya menunjukkan kecenderungan penurunan angka komplikasi pada pasien malnutrisi.(6)
Di bawah ini merupakan situasi di mana nutrisi parenteral telah digunakan dalam upaya untuk mencapai tujuannya: (1)
1. Bayi baru lahir dengan anomali pencernaan gastrointestinal, seperti fistula trakeoesofagus, gastroschisis, omphalocele atau atresia usus besar.
2. Bayi yang gagal berkembang karena kekurangan pencernaan disebabkan dengan short bowel syndrome, malabsorpsi, defisiensi enzim, ileus mekonium, atau diare idiopatik.
3. Pasien dewasa dengan short bowel syndrome sekunder disebabkan reseksi usus halus yang luas (<100>
4. Enteroenteric, enterocolic, enterovesical, atau fistula enterocutaneous dengan output yang tinggi (> 500 mL/hari).
5. Pasien operasi dengan ileus paralitik berkepanjangan setelah operasi besar (> 7 - 10 hari), luka multipel, trauma tumpul atau perut terbuka, atau pasien dengan refleks ileus yang rumit dengan berbagai penyakit medis.
6. Pasien dengan panjang usus normal, tetapi terdapat malabsorpsi sekunder meliputi sariawan, hypoproteinemia, insufisiensi enzim atau pankreas, enteritis regional, atau kolitis ulserativa.
7. Dewasa pasien dengan gangguan pencernaan fungsional seperti esofageal diskinesia setelah kecelakaan serebrovaskular, diare idiopatik, muntah psikogenik, atau anorexia nervosa.
8. Pasien dengan kolitis granulomatosa, kolitis ulseratif, dan enteritis TB, di mana bagian-bagian utama dari mukosa absorptif terserang penyakit.
9. Pasien dengan keganasan, dengan atau tanpa cachexia, di antaranya gizi buruk mungkin membahayakan keberhasilan cara pemberian pilihan terapeutik.
10. Gagal untuk mencoba memberikan kalori yang memadai dengan tabung enteral atau terdapat sisa residu yang tinggi.
11. Pasien sakit kritis yang hipermetabolik selama lebih dari 5 hari. (1)
Kondisi kontraindikasi diberikannya nutrisi parenteral meliputi: (1)
1. Kurangnya tujuan khusus dari manajemen pasien, atau pada kasus yang bukan untuk memperpanjang hidup yang bermakna.
2. Periode ketidakstabilan hemodinamik atau kekacauan metabolis yang parah (misalnya, hiperglikemia berat, azotemia, ensefalopati, hyperosmolality, dan gangguan cairan elektrolit) membutuhkan kontrol atau koreksi terlebih dahulu sebelum mencoba pemberian infus yang hipertonik.
3. Pasien layak untuk makan melalui saluran pencernaan, pada sebagian besar kasus, ini adalah jalan terbaik yang digunakan untuk memberikan gizi.
4. Pasien dengan status gizi yang baik.
5. Bayi dengan usus halus kurang dari 8 cm, ketika bayi tidak mampu beradaptasi meskipun dengan pemberian gizi parenteral.
6. Pasien yang dengan cara berfikir yang ireversibel atau tidak manusiawi.(1)
2.6.3 Rute Nutrisi Enteral Banding Parenteral
Setiap rute pemberian nutrisi suportif berhubungan dengan komplikasi yang berbeda-beda. Umumnya, komplikasi yang terkait dengan nutrisi parenteral berhubungan dengan morbiditas yang lebih besar daripada nutrisi enteral karena sifat invasif dari cara pemberiannya. Rute cara pemberian juga memiliki efek pada fungsi organ, terutama saluran usus. Substrat makanan yang diberikan oleh rute enteral lebih baik dimanfaatkan oleh usus daripada diberikan pemberian nutrisi secara parenteral. Selain itu, pemberian nutrisi secara enteral bila dibandingkan dengan solusi TPN dapat mencegah atrofi mukosa gastrointestinal, melemahkan respon trauma stres, menjaga imunokompetensi dan melestarikan flora usus normal. (1),(6)
Sebuah penelitian meta-analisis yang membandingkan kemanjuran gizi nutrisi enteral dan parenteral awal pada pasien bedah berisiko tinggi menemukan bahwa pemberian nutrisi enteral dini pasca operasi ialah efektif dan dapat mengurangi tingkat morbiditas septik dibandingkan dengan mereka yang dikelola TPN bahkan ketika kateter yang menyebabkan sepsis telah dikeluarkan dari analisis. Nutrisi enteral juga merupakan pilihan yang sangat efektif pada pasien malnutrisi dengan kanker gastrointestinal dan memiliki komplikasi yang lebih sedikit, perawatan pascaoperasi di rumah sakit yang lebih singkat dan mengurangi biaya dibandingkan dengan TPN. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa rute enteral harus digunakan sedapat mungkin, tetapi jika rute pemberian secara enteral tidak dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) minggu maka pemberian TPN yang dini harus dipertimbangkan.(6)
Jadi, pertama-tama harus diusahakan agar pasien bisa makan melalui mulut dalam bentuk makanan lunak atau makanan cair. Bila ini tidak berhasil, nutrisi enteral dapat diberikan melalui pipa lambung melalui hidung (nasogastric tube), atau bila perlu, sonde dapat dimasukkan lebih dalam lagi sampai ke duodenum, bahkan bagian proksimal yeyunum. Kadang-kadang makanan ini perlu diberikan melalui sonde gastrostomi atau yeyunostomi. Nutrisi parenteral dapat diberikan sebagai tambahan bila nutrisi enteral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. (8)
Dalam memberikan nutrisi enteral maupun parenteral, perhitungan kebutuhan protein dan kalori sama seperti yang telah dibahas di atas. (8)
Komplikasi nutrisi enteral, antara lain aspirasi, muntah, diare, salah letak pipa, sedangkan komplikasi nutrisi parenteral serupa dengan masalah kateter vena, seperti salah letak, menembus vena, atau tersumbat. Penyulit lain ialah tromboflebitis, infeksi dan sepsis umum, serta gangguan metabolikyang bisa terjadi karena pemberian cairan terlalu cepat. (8)
2.7 Nutrisi Perioperatif
Banyak penelitian meneliti nutrisi suportif preoperatif dan postoperatif, meskipun hasilnya terdapat banyak konflik. Masalah utama dari data-data tersebut ialah pengambilan pasien yang tidak mempunyai resiko terhadap komplikasi yang berkaitan dengan nutrisi. Terutama ketika nutrisi perenteral pada lengan dimasukkan, hasil sering menunjukkan peningkatan komplikasi septik pada pasien yang mendapatkan nutrisi parenteral yang seharusnya tidak peru mendapatkan keadaan yang penyulit seperti ini. Contoh klasik adalah Veterans Affairs Cooperive study, yang secara acak memilih pasien pra operasi bedah untuk diberikan nutrisi parenteral selama 7 sampai 15 hari sebelum operasi atau untuk kelompok kontrol dengan akses gratis untuk diet. Jumlah nutrisi parenteral yang diberikan dalam studi melebihi rekomendasi saat ini, dan ini memperburuk efek negatif. Secara keseluruhan, saat itu terjadi pengurangan komplikasi penyembuhan (luka terbuka, anastomosis luka yang tidak adekuat, pembentukan fistula) pada kelompok nutrisi parenteral, tetapi terjadi peningkatan komplikasi infeksi secara signifikan, terutama pneumonia. Setelah stratifikasi disesuaikan dengan tingkat gizi buruk yang sudah ada sebelumnya, sangat jelas manfaat nutrisi parenteral pada pasien gizi buruk, dengan pengurangan yang signifikan dalam penyembuhan komplikasi dan tidak ada kenaikan (dan penurunan beberapa) pada komplikasi infeksi. Dalam percobaan gizi perioperatif, hampir semua percobaan dengan hasil negatif atau efek negatif dari gizi terjadi pada sebagian besar pasien dengan gizi yang baik. Namun, percobaan yang menyertakan sejumlah besar pasien malnutrisi menunjukkan manfaat yang signifikan dengan nutrisi perioperatif. Orang bisa menyimpulkan bahwa pasien dengan gizi yang baik-yang teridentifikasi setelah anamnesis riwayat dan pemeriksaan fisik-tidak mungkin untuk mendapatkan manfaat preoperatif baik menggunakan nutrisi parenteral meupun makanan enteral. Namun, jika pasien memiliki defisiensi gizi yang sudah ada sebelumnya, terdapat data-data yang mendukung penggunaan nutrisi suportif di awal sebelum operasi dan/atau periode pasca operasi.(5)
2.8 Monitoring Terapi Nutrisi Suportif
Status cairan harus dievaluasi setiap hari pada pasien sakit kritis. Formulasi nutrisi parenteral harus terkonsentrasi dan natrium harus dikurangi saat berat badan pasien tiba-tiba meningkat 1-2 kg dalam 24 jam. Laboratorium untuk pengukuran glukosa, natrium, kalium, status asam-basa, dan fungsi ginjal harus dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran untuk kalsium, fosfor, dan magnesium harus dilakukan setidaknya tiga kali seminggu. Konsentrasi trigliserida, tes fungsi hati, hitung darah lengkap dengan diferensial, waktu prothrombin, dan waktu tromboplastin harus dinilai mingguan selama fase akut cedera pada populasi pasien ini.(5)
Keseimbangan nitrogen dapat dihitung setelah pengumpulan urin 24 jam untuk volume dan urea nitrogen yang digunakan untuk menentukan beratnya katabolisme. Keseimbangan nitrogen didefinisikan sebagai perbedaan antara asupan nitrogen dan ekskresi nitrogen. Pasien yang memiliki cedera tulang belakang atau kepala berat akan tetap berada dalam keseimbangan nitrogen negatif bahkan ketika diberikan dosis protein 2 g/kg/hari disebabkan atrofi disuse. Keseimbangan nitrogen, atau keseimbangan nol nitrogen, dapat terjadi pada pasien stress, sehat sebelumnya, dan pasien bedah yang muda.(5),(14)
Gambar 2.1 Pengaruh keparahan cedera terhadap wasting nitrogen.
Konsentrasi protein serum dapat digunakan sebagai ukuran status gizi karena kenaikan konsentrasi protein tertentu dapat mencerminkan terjadinya anabolisme protein. Konsentrasi serum albumin merupakan penanda protein yang paling umum digunakan untuk menilai status gizi. Namun, albumin merupakan penanda yang buruk untuk menilai status gizi pada pasien sakit kritis karena konsentrasinya cepat menurun jika terjadi stres atau luka akibat redistribusi dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial, dan karena waktu paruh hidupnya yang panjang (<21 style="">C Reactive Protein (CRP) dapat dipertimbangkan karena protein ini merupakan protein serum jangka pendek. CRP diakui sebagai protein fase akut yang positif, dan sintesisnya meningkat selama inflamasi dan stres. Jika terjadi peningkatan konsentrasi CRP dan serum prealbumin tiba-tiba menurun, ini mungkin menandakan adanya suatu kondisi inflamasi yang mendasari daripada terjadinya penurunan status gizi. Namun, gabungan prealbumin rendah dan konsentrasi CRP dapat mencerminkan kalori atau protein yang tersedia tidak memadai. Hal-hal ini merupakan prinsip-prinsip dasar yang bisa digunakan untuk membantu klinisi dalam membuat penyesuaian yang diperlukan dalam membuat rejimen gizi pasien. (5),(14)
2.9 Immunonutrisi
Selain penelitian yang sedang berlangsung memastikan manfaat spesifik dari rute pemberian untuk nutrisi suportif, penelitian terbaru juga difokuskan pada komposisi rejimen gizi. Secara khusus, banyak perhatian telah dibayarkan kepada potensi nutrisi khusus yang dapat mempengaruhi respons metabolik terhadap penyakit. Salah satu hal yang kontroversi atas pemberian nutrisi suportif dalam beberapa tahun terakhir ialah nutrisi yang memodulasi kekebalan (imunonutrisi), termasuk glutamin, arginin, omega-3 asam lemak, dan nukleotida. Sejumlah percobaan telah dilakukan untuk menilai dampak dari produk yang mengandung bahan-bahan tersebut pada pasien. Namun, banyak dari percobaan telah dikritik cacat desain, dan hasilnya masih menjadi konflik. (6),(13)
Glutamin adalah asam amino bebas terbanyak yang terdapat dalam kompartemen ekstra dan intraseluler. Hal ini memainkan peran penting dalam transportasi nitrogen dan homeostasis asam basa dan merupakan bahan bakar untuk mempercepat pembelahan diri sel-sel seperti enterosit, limfosit dan fibroblast. Glutamin juga terlibat dalam mekanisme pertahanan antioksidan dengan mempengaruhi sintesis glutathione. Dalam situasi stres berat atau penurunan gizi, permintaan glutamin dapat melebihi kapasitas tubuh untuk mensintesisnya. Studi telah mengeksplorasi manfaat rejimen nutrisi parenteral yang diperkaya glutamin, terutama pada usus dan sistem kekebalan tubuh. Telah terbukti bahwa penambahan glutamin untuk rejimen nutrisi parenteral yang diberikan kepada pasien setelah operasi elektif perut menghasilkan pengurangan panjang lama waktu rawat inap di rumah sakit dan mengurangi biayanya. Hal ini juga disertai dengan perbaikan keseimbangan nitrogen dan pemulihan limfosit yang lebih cepat. Glutamin juga telah ditunjukkan untuk mempertahankan permeabilitas usus pada pasien pasca operasi. (3),(6)
Seperti halnya glutamin, arginin adalah asam amino nonesensial yang penting dalam kondisi stres metabolik. Asam amino ini, salah satu yang tertinggi dalam nitrogen, telah dikaitkan dengan perbaikan keseimbangan nitrogen dan penyembuhan luka. Arginine diyakini meningkatkan imunitas melalui promosi makrofag dan sitotoksisitas natural killer tumor, serta proliferasi dan aktivasi sel T. Selain itu, arginin merupakan prekursor untuk nitrat oksida, yang terlibat dalam pengaturan irama vaskular dan fungsi kekebalan tubuh. Ciri-ciri ini telah membuat potensi arginin menarik untuk digunakan pada pasien bedah.(3),(13)
Glutamine
Arginine
1. Meningkatkan kapasitas absorpsi usus setelah reseksi usus
2. Mengurangi permeabilitas usus
3. Resolusi dini eksperimental pankreatitis
4. Menjaga keseimbangan nitrogen
5. Meningkatkan regenerasi hati setelah hepatektomi
6. Mengembalikan fungsi imunoglobulin mukosa
7. Meningkatkan clearance pada peritonitis bakteri
8. Melindungi viabilitas enterosit pascaradiasi
9. Mengembalikan tingkat glutathione intraselular
10. Memfasilitasi sensitivitas tumor terhadap kemoterapi dan terapi radiasi
11. Meningkatkan fungsi natural killer dan lymphokine-activated killer cell
1. Meminimalkan iskemia / reperfusi cedera hati
2. Mengurangi translokasi bakteri usus
3. Meningkatkan fungsi natural killer dan lymphokine-activated killer cell
4. Meningkatkan retensi nitrogen dan sintesis protein
Tabel 2.4 Manfaat eksperimental suplemen Glutamine dan Arginine.(1)
Dua asam amino, alanin dan glutamin, adalah karier untuk pertukaran nitrogen pada organ. Ini dapat dijelaskan dari gambar 2.2.
Gambar 2.2 Siklus otot-usus-hati-alanin-glutamin-glukosa. Secara keseluruhan skema dari respon metabolik terhadap penyakit. Skema ini meliputi hubungan metabolisme antara organ. Fitur ini sampai sekarang masih belum jelas namun saat ini mendapatkan perhatian lebih. Salah satu artikel adalah bahwa tanggapan tersebut terjadi sebagai respon terhadap cedera dan secara teleologis benar dan menguntungkan. Dengan demikian, luka membutuhkan glukosa, bisa glutamin, dan juga arginin yang berhubungan dengan elemen selular tertentu. Gerakan asam amino dari perifer (otot) menuju hati mungkin mengakibatkan sekresi protein fase akut, yang memiliki tujuan, pada gilirannya, adalah untuk melawan infeksi. Glutamin dikeluarkan otot yang sebagai energi yang berguna untuk banyak sel. Glutamin diambil ginjal untuk menjadi prekursor untuk membentuk amoniak. Usus halus dapat mengambil dan mematabolisme glutamin, yang kemudian akan mengeluarkan sejumlah alanin. Hepar kemudian menggunakan alanin yang dilepaskan untuk memproduksi glukosa. Proses yang kompleks ini memainkan peran penting dalam glukoneogenesis dan mengubahnya menjadi glutamin di otot.
Asam lemak omega-3, terutama yang berasal dari minyak ikan, bersaing dengan asam lemak lainnya untuk digunakan ke dalam membran sel. Berbeda dengan asam lemak omega-6 yang biasanya disediakan sebagai lipid intravena, asam lemak ini menimbulkan antiinflamasi, dan anti-trombotik. Di antara percobaan terbatas yang mengevaluasi asam lemak omega-3 dan pengaruh mereka pada hasil pasien, percobaan kontrol acak baru-baru ini menilai dampaknya terhadap pasien pasca operasi dengan hasil memanjangnya waktu pembedahan perut. Dua puluh empat pasien gizi baik yang diterima baik infus 10 g minyak ikan (Omegaven, Fresenius AG, Bad Homburg, Jerman) maupun tanpa infus minyak ikan pada hari 1-5 perioperatif. Kedua kelompok menerima nutrisi suportif yang sama pada hari ke-4 dan 5. Tidak ada perbedaan yang signifikan yang khas pada kedua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan tingkat infeksi pascaoperasi yang lebih rendah dan lama tinggal di rumah sakit yang lebih pendek untuk pasien yang makan asam lemak omega-3. (13)
Nukleotida adalah unit dari struktur DNA dan RNA. Meskipun diketahui memiliki efek potensial meningkatkan imunitas yang berkaitan dengan natural killer cells dan limfosit T, ada penelitian manusia telah menunjukkan efek yang menguntungkan dari suplementasi nukleotida. (13)
Imunonutrisi dapat meningkatkan perbaikan hasil pada pasien bedah elektif tapi berpotensi merugikan pada pasien sakit kritis. Hal ini didukung oleh penelitian kontrol acak baru-baru ini yang menunjukkan bahwa pasien sepsis yang diberi nutrisi enteral untuk meningkatkan imunitas terjadi kematian lebih besar daripada yang didapat oleh nutrisi parenteral. Produk ini sebaiknya tidak direkomendasikan secara rutin untuk semua pasien pascaoperasi, sampai penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa pasien dapat mengambil manfaat dari nutrisi suportif yang memodulasi imunitas. (13)
BAB III
KESIMPULAN