Sabtu, 20 November 2010

Demam dengue

Definisi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau nyamuk Aedes albopictus, dengan manifestasi klinis demam akut, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi; yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.1 Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Selain DF dan DHF, kita mengenal pula suatu keadaan yang lebih parah yaitu DSS. Sindrom renjatan dengue (DSS) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh syok.1,2
Epidemiologi
Indonesia merupakan wilayah endemis DHF dengan sebaran terdapat di seluruh wilayah tanah air. Insidens DHF di Indonesia mencapai 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998 dan mortalitasnya mencapai 2% pada tahun 1999.1

Etiologi
DF dan DHF disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm yang terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4×106.3,4
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan baik DF maupun DHF. Keempat serotipe tersebut sudah ditemukan di Indonesia serotipe terbanyak berupa DEN-3.4,5
Masa inkubasi virus dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (dalam rentang 3-14 hari), selama masa itu dapat timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang, dan perasaan lelah.
Vektor
Penularan infeksi virus Dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes. Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti, sedangkan vektor potensialnya adalah Aedes albopictus.1,3,5
Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif setelah 8-14 hari (masa inkubasi ekstrinsik). Pada manusia, manifestasi penyakit klinis dimulai 2-15 hari setelah gigitan nyamuk yang infektif. Sekali menjadi infektif, nyamuk akan tetap infektif hanya selama masa hidupnya. Virus Dengue tidak diturunkan dari satu generasi nyamuk ke generasi berikutnya.1
Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam dan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya (terutama kaki) dan dikenali dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran lira yang putih pada punggung (mesonotumnya). Telur Aedes aegypti mempunyai dinding bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Larvanya mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral.4
Spesies ini mengalami metamorfosis sempurna.4 Nyamuk betina meletakkan telurnya di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata hingga 100 butir telur setiap kali ia bertelur. Setelah kira-kira 2 hari, telur menetas menjadi larva lalu mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali. Larva tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan telur menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.4
Tempat-tempat perindukan utama nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air jernih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perindukan tersebut dapat berupa tempat penyimpanan air minum, bak mandi, jambangan/pot bunga, kaleng, botol, drum, atau ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau di kebun yang berisi air hujan. Selain itu, bisa juga berupa tempat perindukan alamiah seperti kelopak daun tanaman keladi atau pisang, tempurung kelapa, tonggak bambu, atau lubang pohon yang berisi air hujan.4
Nyamuk dewasa betina menghisap darah manusia baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Pengisapan darah dilakukan setiap hari dengan dua puncak waktu yaitu sekitar pukul 08.00-10.00 dan pukul 15.00-17.00. Tempat hinggap (peristirahatan) Aedes aegypti bisa berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat di halaman/kebun/pekarangan rumah, dapat pula berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah, dan lain sebagainya. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas mencapai sekitar 10 hari.4 Nyamuk ini mampu terbang maksimal 2 kilometer walaupun jarak terbangnya adalah pendek sekitar 40 meter saja.4
Aedes aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia. Walau spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat, ia bisa ditemukan pula di pedesaan. Penyebarannya terjadi melalui larva yang terbawa melalui transportasi yang mengangkut benda-benda berisi air hujan. Dengan umurnya yang pendek, nyamuk ini masih mampu menularkan virus yang masa inkubasinya berkisar antara 3-10 hari.
Kasus-kasus DHF setiap tahunnya pada umumnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan yaitu tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina seperti wadah yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, tempat penampungan air hujan, dan lain sebagainya). Penyakit dengue ini masuk ke Indonesia sejak tahun 1968 melalui pelabuhan Surabaya dan pada tahun 1980 DHF telah dilaporkan tersebar luas dan telah melanda seluruh propinsi Indonesia.
Berikut ini beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus Dengue yaitu:
  1. vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain
  2. pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis kelamin
  3. lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk
Patogenesis
Patogenesis pasti terjadinya DHF sampai saat ini masih diperdebatkan. Akan tetapi, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DHF dan DSS khususnya mekanisme immune enhancement.1,5
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DHF adalah:1
  1. respons imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus Dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
  2. limfosit T baik CD4 maupun CD8 berperan dalam respon imun seluler terhadap virus Dengue. Diferensiasi CD4 yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin; sedangkan TH2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
  3. monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
  4. aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Kurane dan Ennis (1994) menyatakan bahwa infeksi virus Dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non-netralisasi sehingga virus bereplikasi di dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi CD4 dan CD8 sehingga diproduksi interferon gamma dan limfokin. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresilah berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadilah kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.1,5
Trombositopenia pada infeksi virus Dengue terjadi melalui mekanisme supresi sumsum tulang dan destruksi serta pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai, akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadinya trombositopenia justru menunjukkan kenaikan. Hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosis terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosis selama proses koagulopati, dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosis terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin, dan PF4 yang merupakan pertanda degranulasi trombosit.1
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Aktivasi koagulasi pada DHF terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).
Manifestasi Klinis
Spektrum klinis
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue dapat bersifat asimptomatik atau dapat berupa demam akut yang tidak khas, baik DF, DHF, maupun DSS. Pada umumnya pasien akan mengalami fase demam akut selama 2-7 hari. Demam akut tersebut dapat timbul mendadak atau dapat hanya berupa gejala-gejala prodromal berupa perasaan tidak enak badan, menggigil, dan sakit kepala. Rasa sakit segera timbul, khususnya pada punggung, sendi, otot, dan bola mata. WHO (1997)  mendefinisikan spektrum klinis infeksi virus dengue sebagai berikut.1,5

Secara umum manifestasi klinis DD dan DBD, yaitu:
Demam
Demam akut akan diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase kritis ini pasien sudah tidak lagi demam, tetapi mempunyai risiko untuk terjadi syok jika tidak mendapat penanganan atau pengobatan yang adekuat. Suhu dapat kembali normal setelah 5-6 hari atau dapat mereda sekitar hari ketiga dan meningkat kembali sekitar 5-8 hari setelah timbulnya penyakit (bentuk saddle-back).1,5
Ruam
Jenis perdarahan yang terbanyak ditemui pada kasus DBD adalah perdarahan pada pemeriksaan. Rumpel leede, petekie, ekimosis, dan perdarahan konjungtiva, selain itu pada anak sering juga dijumpai epistaksis. Petekie dengan gigitan nyamuk dibedakan dengan menekan ruam merahnya, sifat petekie adalah tidak menghilang dengan penekanan.
Hepatomegali
Pembesaran hati umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit dengan besaran just palpable hingga 2-4 cm, namun demikian derajat pembesaran tidak berhubungan dengan keparahan penyakitnya.
Syok
Pada kasus tertentu setelah beberapa hari demam kondisi pasien semakin memburuk khususnya setelah demam mulai turun yaitu pada hari 3-7. Perburukan kondisi ini ditandai dengan kegagalan sirkulasi seperti kulit dingin dan lembab terutama ujung kaki dan jari, sianosis, nadi cepat dan lemah, lalu diikuti dengan lemah dan gelisah, tanda-tanda seorang pasien hendak jatuh dalam kondisi syok. Tekanan nadi pasien shock (Sistolik-diastolik) menjadi kurang dari <20 mmHg, disertai dengan nadi yang semakin lemah dan cepat, hipotensi, dan kulit pucat.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk menapis pasien tersangka DF adalah melalui pemeriksaan kadar Hb, Ht, jumlah trombosis, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.5 Secara umum parameter laboratoris yang bisa ditemukan dapat dilihat pada tabel 1. Berikut:
Tabell 1. Parameter laboratorium pada infeksi virus dengue
Parameter Waktu Nilai
Leukosit Awal demam-akhir demam Normal kemudian menurun sehingga nilai limfosit meningkat relatif. Dapat ditemukan sel limfosit atipikal (limfosit plasma biru di darah tepi) dengan jumlah per LPB > 4% di hari ke 3-7
Trombosit Hari ke-3 sampai hari ke-7 Jumlah trombosit mulai turun, nilai dapat mencapai <100.000/uL. Pemeriksaan kadar trombosit ini bila perlu dapat dilakukan setiap hari hingga suhu tubuh pasien turun.
Hematokrit
Hematokrit diperiksa untuk menemukan hemokonsentrasi, sehingga baik untuk dilakukan berkala. Peningkatan Hematokrit >20% mencerminkan perembesan plasma
Kadar protein
Hipoproteinemia jika terjadi kebocoran plasma
Hemostasis
Jika ditemukan kelaianan dalam pembekuan darah/perdarahan
Selain pemeriksaan laboratorium standar, saat ini juga dapat dilakukan berbagai pemeriksaan serologi seperti terdapat dalam tabel berikut
Uji Serologi Prinsip Ukuran
Hemaglutinasi inhibisi Antigen-antibodi Kenaikan titer konvalesen 4X lipat dari titer akut atau nilai >1280 ketika kondisi akut/konvalesen menunjukkan presumptive positif infeksi dengue
IgM Elisa Antigen-antbodi; IgM muncul pada hari ke 4-5 setelah infeksi, diikuti oleh terbentuknya IgG Jika pada hari Ke-6 masih (-) maka dapat dikatakan infeksi virus dengue negatif
NS-1 Antigen detection Deteksi antigen non-struktural Beberapa pusat kesehatan di Indonesia telah mulai menggunakan NS-1 untuk mendeteksi infeksi virus dengue sejak dini
Diagnosis

Kriteria diagnosis Demam Dengue
DF merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari ditandai oleh 2 atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
  1. nyeri kepala
  2. nyeri retro-orbital
  3. mialgia/artralgia
  4. ruam kulit
  5. manifestasi perdarahan (petekiae atau uji tourniquet/uji bendung memberikan hasil positif)
  6. leukopenia
dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DF/DHF yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Kriteria diagnosis Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DHF ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:
1. demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan sebagai berikut:
  • uji bendung positif (uji tourniquet positif): >20 petekiae dalam 2,54 cm2
  • petekie, ekimosis, atau purpura
  • perdarahan mukosa (epistaksis atau perdarahan gusi) atau perdarahan saluran cerna, bekas suntikan, atau di tempat lain
  • hematemesis atau melena
3. trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/mm3)
4. terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
-       peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin dari populasi yang sama
-       penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit awal sebelumnya
-       tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, efusi perikard, asites, atau hipoproteinemia
Kriteria Dengue Shock Syndrome
DSS didiagnosis bila terdapat seluruh kriteria DHF disertai kegagalan sirkulasi (syok) dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab, serta gelisah. DHF derajat III dan IV digolongkan ke dalam DSS.

Klasifikasi DHF
  1. Derajat I: demam disertai gejala konstitusional tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji tourniquet positif dan/atau mudah memar
  2. Derajat II: derajat I disertai perdarahan spontan
  3. Derajat III: terdapat kegagalan sirkulasi seperti nadi cepat dan lemah atau hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah
  4. Derajat IV: tekanan darah dan nadi tidak teratur, fase syok (Dengue Shock Syndrome)
Pencegahan
Pencegahan DHF dapat dilakukan dengan mengendalikan vektornya. Pengendalian nyamuk vektor virus Dengue ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
  1. perlindungan perseorangan untuk mencegah terjadinya gigitan yaitu memasang kawat kasa di lubang angin di atas jendela atau pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida, dan penggunaan obat anti nyamuk saat berkebun.
  2. pembuangan atau mengubur benda-benda di pekarangan atau kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban mobil, dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes aegypti.
  3. mengganti air atau membersihkan tempat-tempat air secara teratur setiap minggu sekali, pot bunga, tempayan, dan bak mandi.
  4. pemberian Abate ke dalam tempat penampungan/penyimpanan air.
  5. fogging dengan malathion setidaknya 2 kali dengan jarak waktu 10 hari di daerah yang terkena.
  6. rutin membersihkan saluran air terutama di musim hujan di mana biasanya air hujan tergenang.
  7. pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar rakyat dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk di sekitar rumah.
Referensi:
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed.4. jil.3. cet.2. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2. Rani HAA, Soegondo S, Nasir AUZ, et al (eds). Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Jakarta; 2004.
3. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN, Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi Kedokteran. ed.20. Nugroho E, Maulany RF (alih bahasa). Setiawan I (ed). Jakarta: EGC; 1996.
4. Djakaria S. Vektor Penyakit Virus, Riketsia, dan Bakteri. Dalam: Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (eds). Parasitologi Kedokteran. ed.2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992.
5. Hadinegoro S R, Soegijanto S, Wuryadi S, & Suroso S. Tatalakasana demam berdarah di Indonesia, Ed. 3. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar