Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal. Sinusitis mungkin hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau berlanjut menjadi sinusitis kronis jika tanpa pengobatan yang adekuat(2).
Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita sinusitis karena pembentukan sinusnya belum sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada berbagai usia dengan cara lain(1).
Infeksi sinus seperti yang kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik. Pasien sering kali masih mengaitkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, sumbatan hidung, drenase post-nasal, kelemahan, halitosis dan dispepsia dengan disfungsi sinus. Namun demikian, penyakit sinus menimbulkan kumpulan gejala yang agak karakteristik yang hanya bervariasi sesuai beratnya penyakit dan lokasinya.
Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah menyadari bahwa hidung dan sinus paranasalis hanyalah sebagian dari sistem pernapasan total. Penyakit yang menyerang bronkhus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasalis. Penting untuk diingat saat masing-masing sinus berkembang pada masa kanak-kanak dan remaja, dan kemudian saat sinus-sinus tersebut menjadi rentan infeksi. Sinus maksilaris dan ethmoidalis sudah terbentuk sejak lahir dan biasanya hanya kedua sinus ini yang terlibat dalam sinusitus dimasa kanak-kanak. Sinus frontalis mulai berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 12 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Sinusitis frontalis akut biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Pada sekitar 20 % populasi, sinus frontalis tidak ditemukan atau rudimenter dan karenanya tidak mempunyai makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami prematurisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau awal usia dua puluhan(8). Dengan mengetahui gejala klinis dari sinusitis diharapkan dapat ditegakkan diagnosis sejak dini dengan penanganan yang tepat.
II.1. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
Paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinisitis sfenoid lebih jarang. Pada anak hanya sinus maksila dan sinus ethmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum(7).
II.2. Anatomi Sinus
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung
sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.
Fungsi sinus paranasal adalah :
- Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak.
- Sebagai pengatur udara (air conditioning).
- Peringan cranium.
- Resonansi suara.
- Membantu produksi mukus.
A. Sinus Maksilaris
- Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I.
- Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae.
- Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.
- Berhubungan dengan :
a. Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
b. Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.
c. Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
B. Sinus Ethmoidalis
- Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
- Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis.
- Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan mata
- Berhubungan dengan :
a. Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).
b. Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.
c. Nervus Optikus.
d. Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.
C. Sinus Frontalis
- Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.
- Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
- Volume pada orang dewasa ± 7cc.
- Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
- Berhubungan dengan :
a. Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
b. Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.
c. Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
D. Sinus Sfenoidalis
- Terbentuk pada fetus usia bulan III.
- Terletak pada corpus, alas dan Processus os sfenoidalis.
- Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
- Berhubungan dengan :
a. Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
b. Glandula pituitari, chiasma n.opticum.
c. Tranctus olfactorius.
d. Arteri basillaris brain stem (batang otak)(6).
II.3. Patogenesa
Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lender tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drenase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen(7).
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista(7). Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum. Sedangkan permukaannya kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi ; (2) Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik ; (3) Dengan terjadinya defek; dan (4) Melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.
Pada sinusitus kronik perubahan permukaan mirip dengan peradangan akut supuratif yang mengenai mukosa dan jaringan tulang lainnya. Bentuk permukaan mukosa dapat granular, berjonjot-jonjot, penonjolan seperti jamur, penebalan seperti bantal dan lain-lain. Pada kasus lama terdapat penebalan hiperplastik. Mukosa dapat rusak pada beberapa tempat akibat ulserasi, sehingga tampak tulang yang licin dan telanjang, atau dapat menjadi lunak atau kasar akibat karies. Pada beberapa kasus didapati nekrosis dan sekuestrasi tulang, atau mungkin ini telah diabsorpsi.
Pemeriksaan mikroskopik pada bagian mukosa kadang-kadang memperlihatkan hilangnya epitel dan kelenjar yang digantikan oleh jaringan ikat. Ulserasi pada mukosa sering dikelilingi oleh jaringan granulasi, terutama jika ada nekrosis tulang. Jaringan granulasi dapat meluas ke periosteum, sehingga mempersatukan tulang dengan mukosa. Jika hal ini terjadi, bagian superfisial tulang diabsorpsi sehingga menjadi kasar. Osteofit atau kepingan atau lempengan tulang yang terjadi akibat eksudasi plastik, kadang-kadang terbentuk di permukaan tulang(4).
II.4. Etiologi
1. Sebab-sebab lokal
Sebab lokal sinusitis supurativa :
- Patologi septum nasi seperti deviasi septum.
- Hipertrofi konka media.
- Benda asing di hidung seperti tampon, rinolith, material yang terinfeksi seperti air terinfeksi yang berkontak selama berenang atau menyelam.
- Polip nasi.
- Tumor di dalam rongga hidung.
- Rinitis alergi dan rinitis kronik.
- Polusi lingkungan, udara dingin dan kering.
2. Faktor-faktor predisposisi regional.
Faktor regional yang paling lazim untuk berkembangnya sinusitus ialah:
- Khususnya sinisitus maksilaris meliputi gigi geligi yang buruk, karies gigi atau abses apikal. Gigi-gigi premolar atau molar yang sering terkena karena gigi geligi tersebut didekat dasar sinus maksilaris.
- Sinusitus rekuren dapat disebabkan oleh obstruksi nasofaring seperti tumor ganas, radiasi kobalt disertai radionekrosis atau hipertrofi adenoid juga tumor-tumor palatinum jika ada perluasan regional.
3. Faktor-faktor sistemik.
Faktor-faktor sistemik yang mempredisposisi perkembangan rinosinusitis ialah :
- Keadaan umum yang lemah, seperti malnutrisi.
- Diabetes yang tidak terkontrol.
- Terapi steroid jangka lama.
- Diskrasia darah.
- Kemoterapi dan keadaan depresi metabolisme(8).
II.5. Klasifikasi
Menurut Cauwenberg berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas :
- Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu.
- Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan.
- Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan gejalanya disebut akut bila terdapat tanda-tanda radang akut, subakut bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel, dan kronik bila perubahan tersebut sudah irreversibel, misalnya menjadi jaringan granulasi atau polipoid(3).
II.6. Gejala dan Diagnosis
SINUSITIS AKUT
A. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain(3)
1. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat(7)
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga(3)
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada(8)
2. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis (3),post nasal drip dan sumbatan hidung(8)
3. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
4. Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya(7)
B. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur(7).
C. Terapi
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
SINUSITIS SUBAKUT
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (7).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz(7).
SINUSITIS KRONIS
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
A. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
- Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
- Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
- Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba eustachius.
- Ada nyeri atau sakit kepala.
- Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
- Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
- Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
B. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
C. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso bakterium.
D. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesis yang cermat
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
3. Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
4. Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
5. Pungsi sinus maksilaris
6. Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.
7. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi.
8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso- endoskopi.
9. Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b. Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrokoanal
d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
f. Tumor
E. Terapi
Terapi untuk sinusitis kronis :
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
a. Radikal
- Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
- Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
- Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
b. Non Radikal
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
KOMPLIKASI SINUSITIS
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
- Oftalmoplegia.
- Kemosis konjungtiva.
- Gangguan penglihatan yang berat.
- Kelemahan pasien.
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
c. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil(7,8).
KESIMPULAN
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang, pada anak hanya sinus maksila dan sinus etmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum.
Sinusitis terjadi jika ada gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila terjadi edema di kompleks ostio-meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Akibatnya lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Faktor predisposisi sinusitis adalah obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor dalam rongga hidung. Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan mukosa serta kerusakan silia.
Secara klinis sinusitis dibagi menjadi sinusitis akut, bila gejala berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu. Sinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan sinusitis kronis bila lebih dari 3 bulan.
Gejala sinusitis yang banyak dijumpai adalah gejala sistemik berupa demam dan rasa lesu. Lokal pada hidung terdapat sekret kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat dan rasa nyeri di daerah sinus yang terinfeksi serta kadang-kadang dirasakan juga ditempat lain karena nyeri alih (referred pain). Tetapi pada sinusitis subakut tanda-tanda radang akut demam, nyeri kepala hebat dan nyeri tekan sudah reda. Sedangkan pada sinusitis kronis selain gejala-gejala di atas sering ditemukan gejala komplikasi dari sinusitis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan CT Scan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan roentgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.
Terapi sinusitis secara umum diberikan medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14 hari, meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan berupa golongan penisilin. Diberikan juga dekongestan sistemik dan analgetik untuk menghilangkan nyeri. Terapi pembedahan dilakukan jika ada komplikasi ke orbita atau intrakanial; atau bila nyeri hebat karena sekret tertahan oleh sumbatan yang biasanya disebabkan sinusitis kronis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, Sinusitis, www.naid.nih.gov/factsheets/sinusitis.2003
2. Anonim, Sinusitis, www.nlm.nih.gov/medline plus/ sinusitis.html.2003
3. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106.
4. Ballenger. J. J., infeksi Sinus Paranasal, dalam : Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok Kepala dan Leher, ed 13 (1), Binaputra Aksara, jakarta, 1994, 232 – 241.
5. Cody. R et all, Sinusitis,dalam Andrianto P, editor, Penyakit telinga Hidung dan Tenggorokan, Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1993, 229 – 241.
6. Damayanti dan Endang, Sinus Paranasal, dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115 – 119.
7. Endang Mangunkusumo, Nusjirwan Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 – 125.
8. Peter A. Hilger, MD, Penyakit Sinus Paranasalis, dalam : Haryono, Kuswidayanti, editor, BOIES, buku ajar Penyakit THT, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 1997, 241 – 258.
Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah menyadari bahwa hidung dan sinus paranasalis hanyalah sebagian dari sistem pernapasan total. Penyakit yang menyerang bronkhus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasalis. Penting untuk diingat saat masing-masing sinus berkembang pada masa kanak-kanak dan remaja, dan kemudian saat sinus-sinus tersebut menjadi rentan infeksi. Sinus maksilaris dan ethmoidalis sudah terbentuk sejak lahir dan biasanya hanya kedua sinus ini yang terlibat dalam sinusitus dimasa kanak-kanak. Sinus frontalis mulai berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 12 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Sinusitis frontalis akut biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Pada sekitar 20 % populasi, sinus frontalis tidak ditemukan atau rudimenter dan karenanya tidak mempunyai makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami prematurisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau awal usia dua puluhan(8). Dengan mengetahui gejala klinis dari sinusitis diharapkan dapat ditegakkan diagnosis sejak dini dengan penanganan yang tepat.
II.1. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
Paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinisitis sfenoid lebih jarang. Pada anak hanya sinus maksila dan sinus ethmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum(7).
II.2. Anatomi Sinus
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung
sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.
Fungsi sinus paranasal adalah :
- Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak.
- Sebagai pengatur udara (air conditioning).
- Peringan cranium.
- Resonansi suara.
- Membantu produksi mukus.
A. Sinus Maksilaris
- Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I.
- Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae.
- Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.
- Berhubungan dengan :
a. Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
b. Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.
c. Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
B. Sinus Ethmoidalis
- Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
- Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis.
- Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan mata
- Berhubungan dengan :
a. Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).
b. Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.
c. Nervus Optikus.
d. Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.
C. Sinus Frontalis
- Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.
- Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
- Volume pada orang dewasa ± 7cc.
- Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
- Berhubungan dengan :
a. Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
b. Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.
c. Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
D. Sinus Sfenoidalis
- Terbentuk pada fetus usia bulan III.
- Terletak pada corpus, alas dan Processus os sfenoidalis.
- Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
- Berhubungan dengan :
a. Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
b. Glandula pituitari, chiasma n.opticum.
c. Tranctus olfactorius.
d. Arteri basillaris brain stem (batang otak)(6).
II.3. Patogenesa
Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lender tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drenase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen(7).
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista(7). Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum. Sedangkan permukaannya kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi ; (2) Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik ; (3) Dengan terjadinya defek; dan (4) Melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.
Pada sinusitus kronik perubahan permukaan mirip dengan peradangan akut supuratif yang mengenai mukosa dan jaringan tulang lainnya. Bentuk permukaan mukosa dapat granular, berjonjot-jonjot, penonjolan seperti jamur, penebalan seperti bantal dan lain-lain. Pada kasus lama terdapat penebalan hiperplastik. Mukosa dapat rusak pada beberapa tempat akibat ulserasi, sehingga tampak tulang yang licin dan telanjang, atau dapat menjadi lunak atau kasar akibat karies. Pada beberapa kasus didapati nekrosis dan sekuestrasi tulang, atau mungkin ini telah diabsorpsi.
Pemeriksaan mikroskopik pada bagian mukosa kadang-kadang memperlihatkan hilangnya epitel dan kelenjar yang digantikan oleh jaringan ikat. Ulserasi pada mukosa sering dikelilingi oleh jaringan granulasi, terutama jika ada nekrosis tulang. Jaringan granulasi dapat meluas ke periosteum, sehingga mempersatukan tulang dengan mukosa. Jika hal ini terjadi, bagian superfisial tulang diabsorpsi sehingga menjadi kasar. Osteofit atau kepingan atau lempengan tulang yang terjadi akibat eksudasi plastik, kadang-kadang terbentuk di permukaan tulang(4).
II.4. Etiologi
1. Sebab-sebab lokal
Sebab lokal sinusitis supurativa :
- Patologi septum nasi seperti deviasi septum.
- Hipertrofi konka media.
- Benda asing di hidung seperti tampon, rinolith, material yang terinfeksi seperti air terinfeksi yang berkontak selama berenang atau menyelam.
- Polip nasi.
- Tumor di dalam rongga hidung.
- Rinitis alergi dan rinitis kronik.
- Polusi lingkungan, udara dingin dan kering.
2. Faktor-faktor predisposisi regional.
Faktor regional yang paling lazim untuk berkembangnya sinusitus ialah:
- Khususnya sinisitus maksilaris meliputi gigi geligi yang buruk, karies gigi atau abses apikal. Gigi-gigi premolar atau molar yang sering terkena karena gigi geligi tersebut didekat dasar sinus maksilaris.
- Sinusitus rekuren dapat disebabkan oleh obstruksi nasofaring seperti tumor ganas, radiasi kobalt disertai radionekrosis atau hipertrofi adenoid juga tumor-tumor palatinum jika ada perluasan regional.
3. Faktor-faktor sistemik.
Faktor-faktor sistemik yang mempredisposisi perkembangan rinosinusitis ialah :
- Keadaan umum yang lemah, seperti malnutrisi.
- Diabetes yang tidak terkontrol.
- Terapi steroid jangka lama.
- Diskrasia darah.
- Kemoterapi dan keadaan depresi metabolisme(8).
II.5. Klasifikasi
Menurut Cauwenberg berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas :
- Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu.
- Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan.
- Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan gejalanya disebut akut bila terdapat tanda-tanda radang akut, subakut bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel, dan kronik bila perubahan tersebut sudah irreversibel, misalnya menjadi jaringan granulasi atau polipoid(3).
II.6. Gejala dan Diagnosis
SINUSITIS AKUT
A. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain(3)
1. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat(7)
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga(3)
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada(8)
2. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis (3),post nasal drip dan sumbatan hidung(8)
3. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
4. Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya(7)
B. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur(7).
C. Terapi
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
SINUSITIS SUBAKUT
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (7).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz(7).
SINUSITIS KRONIS
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
A. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
- Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
- Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
- Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba eustachius.
- Ada nyeri atau sakit kepala.
- Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
- Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
- Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
B. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
C. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso bakterium.
D. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesis yang cermat
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
3. Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
4. Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
5. Pungsi sinus maksilaris
6. Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.
7. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi.
8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso- endoskopi.
9. Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b. Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrokoanal
d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
f. Tumor
E. Terapi
Terapi untuk sinusitis kronis :
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
a. Radikal
- Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
- Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
- Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
b. Non Radikal
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
KOMPLIKASI SINUSITIS
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
- Oftalmoplegia.
- Kemosis konjungtiva.
- Gangguan penglihatan yang berat.
- Kelemahan pasien.
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
c. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil(7,8).
KESIMPULAN
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang, pada anak hanya sinus maksila dan sinus etmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum.
Sinusitis terjadi jika ada gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila terjadi edema di kompleks ostio-meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Akibatnya lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Faktor predisposisi sinusitis adalah obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor dalam rongga hidung. Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan mukosa serta kerusakan silia.
Secara klinis sinusitis dibagi menjadi sinusitis akut, bila gejala berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu. Sinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan sinusitis kronis bila lebih dari 3 bulan.
Gejala sinusitis yang banyak dijumpai adalah gejala sistemik berupa demam dan rasa lesu. Lokal pada hidung terdapat sekret kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat dan rasa nyeri di daerah sinus yang terinfeksi serta kadang-kadang dirasakan juga ditempat lain karena nyeri alih (referred pain). Tetapi pada sinusitis subakut tanda-tanda radang akut demam, nyeri kepala hebat dan nyeri tekan sudah reda. Sedangkan pada sinusitis kronis selain gejala-gejala di atas sering ditemukan gejala komplikasi dari sinusitis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan CT Scan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan roentgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.
Terapi sinusitis secara umum diberikan medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14 hari, meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan berupa golongan penisilin. Diberikan juga dekongestan sistemik dan analgetik untuk menghilangkan nyeri. Terapi pembedahan dilakukan jika ada komplikasi ke orbita atau intrakanial; atau bila nyeri hebat karena sekret tertahan oleh sumbatan yang biasanya disebabkan sinusitis kronis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, Sinusitis, www.naid.nih.gov/factsheets/sinusitis.2003
2. Anonim, Sinusitis, www.nlm.nih.gov/medline plus/ sinusitis.html.2003
3. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106.
4. Ballenger. J. J., infeksi Sinus Paranasal, dalam : Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok Kepala dan Leher, ed 13 (1), Binaputra Aksara, jakarta, 1994, 232 – 241.
5. Cody. R et all, Sinusitis,dalam Andrianto P, editor, Penyakit telinga Hidung dan Tenggorokan, Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1993, 229 – 241.
6. Damayanti dan Endang, Sinus Paranasal, dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115 – 119.
7. Endang Mangunkusumo, Nusjirwan Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 – 125.
8. Peter A. Hilger, MD, Penyakit Sinus Paranasalis, dalam : Haryono, Kuswidayanti, editor, BOIES, buku ajar Penyakit THT, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 1997, 241 – 258.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar